Medan, (Lapan Anam)
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut seluas 3.742.120 hektare, dinilai memiliki dampak besar terhadap beberapa sektor pembangunan, terutama pada sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Rafriandi Nasution, SE kepada wartawan di gedung dewan, Rabu (2/1).
Menurut Rafriandi, penunjukan kawasan hutan yang mencapai 3 juta hektar lebih itu akan membuat perekonomian masyarakat terpuruk. Sebab, kata dia, jika tanah masyarakat digarap menjadi areal kawasan hutan, maka secara otomatis, masyarakat akan pindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan demi menyambung kehidupannya.
“Kalau tanah rakyat dijadikan hutan, ke mana dia harus bertempat tinggal. Terus kemana lagi mereka harus mencari kerja?” tanya politisi asal PAN itu.
Kondisi itu, lanjut Rafriandi, akan tensi urbanisasi akan meningkat dalam kala besar, sehingga penduduk Sumatera Utara akan terkonsentrasi di kota. Kalau hal ini terjadi, maka kemungkinan besar yang akan muncul adalah persaingan hidup semakin tajam dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga kesejahteraan social seperti yang diharapkan tidak akan pernah tercapai.
“Kemiskinan dan pengangguran yang menjadi prioritas tidak mungkin terselesaikan jika SK ini direalisasikan,” ujarnya.
Politisi muda ini menjelaskan, persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Permasalahan itu, sambung dia, harus segera dicarikan jalan keluarnya. “Jangan korbankan rakyat dengan SK itu,” ucap dia.
Dijelaskan Rafriandi, dikeluarkannya SK No. 44 oleh Menteri Kehutanan itu dikarenakan banyaknya bencana yang muncul di Sumatera Utara arena perusakan hutan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tapi, ujar dia, bencana tidak akan terjadi jika saja penebangan hutan diiringi dengan reboisasi (penghijauan kembali).
“Jangan setelah ditebang, tidak ada penanaman pohon kembali. Tentu kondisi tanah akan labil,” katanya.
Begitupun, politisi yang juga pengurus Washliyah itu berharap ditemukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun, dia mengaku kurang setuju dengan SK Menhut No. 44 yang dikeluarkan 2005 lalu.
“Kita harus mencari solusi lain untuk itu. Tetapi bukan berarti harus mengorbankan rakyat. Sebab selama ini rakyat telah banyak menjadi korban,” imbuhnya. (ms)
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut seluas 3.742.120 hektare, dinilai memiliki dampak besar terhadap beberapa sektor pembangunan, terutama pada sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Rafriandi Nasution, SE kepada wartawan di gedung dewan, Rabu (2/1).
Menurut Rafriandi, penunjukan kawasan hutan yang mencapai 3 juta hektar lebih itu akan membuat perekonomian masyarakat terpuruk. Sebab, kata dia, jika tanah masyarakat digarap menjadi areal kawasan hutan, maka secara otomatis, masyarakat akan pindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan demi menyambung kehidupannya.
“Kalau tanah rakyat dijadikan hutan, ke mana dia harus bertempat tinggal. Terus kemana lagi mereka harus mencari kerja?” tanya politisi asal PAN itu.
Kondisi itu, lanjut Rafriandi, akan tensi urbanisasi akan meningkat dalam kala besar, sehingga penduduk Sumatera Utara akan terkonsentrasi di kota. Kalau hal ini terjadi, maka kemungkinan besar yang akan muncul adalah persaingan hidup semakin tajam dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga kesejahteraan social seperti yang diharapkan tidak akan pernah tercapai.
“Kemiskinan dan pengangguran yang menjadi prioritas tidak mungkin terselesaikan jika SK ini direalisasikan,” ujarnya.
Politisi muda ini menjelaskan, persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Permasalahan itu, sambung dia, harus segera dicarikan jalan keluarnya. “Jangan korbankan rakyat dengan SK itu,” ucap dia.
Dijelaskan Rafriandi, dikeluarkannya SK No. 44 oleh Menteri Kehutanan itu dikarenakan banyaknya bencana yang muncul di Sumatera Utara arena perusakan hutan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tapi, ujar dia, bencana tidak akan terjadi jika saja penebangan hutan diiringi dengan reboisasi (penghijauan kembali).
“Jangan setelah ditebang, tidak ada penanaman pohon kembali. Tentu kondisi tanah akan labil,” katanya.
Begitupun, politisi yang juga pengurus Washliyah itu berharap ditemukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun, dia mengaku kurang setuju dengan SK Menhut No. 44 yang dikeluarkan 2005 lalu.
“Kita harus mencari solusi lain untuk itu. Tetapi bukan berarti harus mengorbankan rakyat. Sebab selama ini rakyat telah banyak menjadi korban,” imbuhnya. (ms)