fashion pria

107 Menit Bersama Pak Harto




Catatan Mayjen Simanungkalit

SOEHARTO wafat, demikian diberitakan televisi swasta secara serentak , Minggu 27 Januari 2008. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un, dari Allah datangnya dan akan kembali kepadaNya.

Wafatnya Soeharto membawa duka sangat dalam bagi bangsa Indonesia. Soehato kelahiran desa Kemusuk Solo Jawa Tengah 8 Juni 1921,meninggal Minggu 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, di RSU Pusat Pertamina Jakarta.

Pak Harto bukan sekedar tokoh kharismatik dan mantan Presiden RI. Dia putra terbaik bangsa yang banyak berjasa bagi negeri ini, namun menghadapi hujatan sejak tidak berkuasa hingga ajal menjemput.

Sejak mengundurkan diri dari jabatan Presiden, 21 Mei 1998 Pak Harto banyak menahan diri bicara kepada publik. Dia hanya muncul di layar televisi, saat menjalani pemeriksaan kesehatan di RSU Pertamina.

Beruntung, ditengah hujatan menerpa dan keengganan bertemu publik, saya tercatat sebagai salah satu dari sedikit orang yang dia terima bertandang kerumahnya.

Adalah pengacara kondang dari Medan, Machsin SH yang berjasa mempertemukan saya dengan Pak Harto. Berkat lobby dialah, pertemuan bisa terlaksana pada Kamis 21 April 1999 mulai pukul 10.00-11.47 WIB. Makanya, yang hadir dalam pertemuan bersama Pak harto saat itu adalah Machsin SH, Drs Maraimbang Daulay (Ketua Korcab PMII Sumut), Nasran Siregar (aktivis kampus) dan Mayjen Simanungkalit (Jurnalis).

Walau berlangsung diam-diam, pertemuan itu toh disorot negatif sejumlah media massa. Maklum, Pak harto saat itu sangat dibenci dan menjadi sasaran hujatan. (Lihat kliping salah satu berita utama Surat Kabar soal pertemuan itu)
Sebelum diajaknya keruang tamu, didampingi asisten pribadinya, Anton Tabah, Pak Harto bertanya : yang mana Mayjen Simanungkalit ?
”Siap .....saya pak”, kata saya sambil menyalam tangan beliau.

Pak Harto dengan senyum khas dan tawa cukup ramah, sedikit memuji nama saya. Katanya nama MAYJEN tersebut bagus dan membawa rejeki serta gampang diingat.

”Nama ananda itu cukup bagus dan saya gampang mengingatnya. Begitu lahir, ananda sudah jenderal, bagus itu. Tapi saya ini Jendral Besar lho...”, katanya sambil terkekeh.Sayapun hanya tersipu. Biasalah, orang desa.

Kawan saya yang waktu itu Ketua Korcab PMII Sumut Drs Maraimbang Daulay berceloteh. ”Ini pertemuan dua jenderal”, katanya disambut tawa Pak Harto sambil mempersilakan kami duduk dikursi.

Sambil terkekeh kecil, Pak Harto mendadak bangkit dari duduknya, lalu mengambil empat buah Alqur’an dan menyerahkannya kepada kami. Pertama dia serahkan kepada Machsin SH yang duduk persis disebelah kiri, lalu kepada Maraimbang Daulay, Nasran Siregar dan saya yang persis berada disamping kanan beliau.

”Al Qur’an ini dicetak untuk mengenang 100 hari wafatnya ibu Tien Soeharto. Ananda harus bawa ini ke Medan dan menjadi bacaan keluarga”, katanya. Sampai kini, Al Quran pemberian Pak Harto masih dipakai anak saya di sekolah Madrasah.

Dalam pertemuan saat itu, Pak Harto masih nampak sangat sehat dan tegar. Banyak hal yang kami perbincangkan saat itu,mulai dari alasan beliau mundur dari jabatan Presiden, isu keterlibatan dalam G30-S/PKI, isu penumpukan harta di luar negeri, sampai masalah Timtim dan reformasi.

Tentang Timtim, Soeharto berpendapat Indonesia berkewajiban mempertahankannya. Baginya Timtim bergabung ke Indonesia bukan atas kehendak bangsa Indonesia dan juga bukan karena penjajahan,tapi atas keinginan rakyat Timtim sendiri.

Sebagai bangsa yang turut menjaga perdamaian dan keamanan dunia, seperti tertuang dalam UUD 1945, maka Indonesia berkewajiban menciptakan perdamaian di Timtim.

Kemudian lanjut Pak Harto, setelah bergabung ke Indonesia, maka Indonesia berkewajiban untuk mempertahankannya. Jadi kalau di Timtim terjadi pertikaian-petikaian, Indonesia harus bertanggungjawab dan itu bukan hanya tanggungjawab rakyat Timtim, tanpi tanggungjawab 20 juta rakyat Indonesia.

Kesimpulannya,siapa yang mengganggu Timtim berarti rakyat Indonesia secara keseluruhan harus mengambil tindakan.Karena masuknya Timtim ke Indonesia bukan karena kehendak rakyat Indonesia, tapi atas keinginan rakyat Timtim untuk memperbaiki tarap hidup rakyat disana yang selama ini tidak diperhatikan oleh Portugal atau penjajahnya.

Dalam pertemuan itu, Pak Harto dengan tegas mengatakan kalau Timtim lepas begitu saja tanpa ada tanggungjawab dan tindakan tegas, bukan tak mungkin daerah-daerah lain di Indoensia akan ikut. ”Indikasi ini sudah muncul, beberapa wilayah di Indonesia minta untuk berpisah seperti gejala yang timbul di Aceh,Riau dan Irian Jaya baru-baru ini,” kata Pak Harto saat itu.

Dalam kesempatan itu Pak harto juga bicara soal isu penundaan pemilu dan tudingan seputar G30-S/PKI yang dilontarkan segelintir pihak di media massa.

Demikian juga soal isu kekayaan yang disimpan di bank-bank luar negeri, hingga ditempatkannya beliau sebagai orang terkaya ke empat di dunia. Untuk hal ini, dia waktu itu memberi kesempatan kepada pihak manapun yang menemukan adanya harta baik depositio,uang atau sejenisnya di luar negeri. Dia juga siap 24 jam membantu mengeluarkan surat yang dibutuhkan dan jika terbukti ada dia ikhlas uang itu diserahkan kepada rakyat untuk memperbaiki krisis moneter.

”Saya sudah jelaskan ke publik, sepeserpun tidak ada harta saya diluar negeri. Jika memang ada yang menemukan, silakan diambil.Saya bantu apa yang diperlukan agar uang itu bisa diambil”, katanya.

Dalam perbincangan memakan waktu 107 menit itu,Pak Harto juga membuka isi hatinya terhadap banyak hal. Antara lain soal penghianatan orang-orang terdekatnya yang tak perlu dipublikasikan.

Dia juga sangat menyesalkan berbagai gejolak yang timbul ditanah air.Termasuk bentrokan-bentrokan fisik, pertikaian antar golongan dan etnis yang banyak memakan korban dan meperpanjang kemelaratan di tengah-tengah rakyat kita yang dilanda krisis moneter.

Ia membantah,bahwa dirinya tidak mendukung reformasi.Sebaliknya ia sangat mendukung reformasi itu, bahkan sudah memulainya lewat kebijakan-kebijakan semasa menjabat presiden melalui perencanaan-perencanaan dan tindakan-tidakan yang muaranya untuk mensejahterakan rakyat. Dan salah satu bukti dari dukungan terhadap reformasi itu, ia turun dari jabatan presiden.

Tetapi reformasi yang diingkannya adalah reformasi yang memiliki visi dan rencana yang jelas, bukan reformasi yang acak-acakan.
Ketika bertemu Pak Harto, makin sadar saya betapa besar murka bangsa ini kepadanya. Pak Harto pun merasakan hal itu, sehingga dia sangat berhati-hati untuk menerima tamu di rumahnya.

Kata Pak Harto, dia tidak mau orang lain ikut dibenci setelah bertamu ke rumahnya. “Biarlah saya yang dibenci, orang lain jangan ikut kena getah”, katanya saat itu.

Tapi kesan saya setelah bertemu dan berbincang panjang lebar tentang berbagai hal selama 107 menit di rumahnya, Pak Harto memiliki jiwa yang tegar. Dia memiliki wibawa sebagai seorang negarawan sejati, dan selalu berpikir positif terhadap kondisi yang dia alami setelah mundur dari jabtan presiden.

Sebagai orang yang baru pertama kali dapat bersalaman dan duduk santai disampingnya sambil minum teh manis, hanya kekaguman yang muncul. Terutama ketajaman ingatannya terhadap banyak hal, termasuk urutan kejadian bersejarah yang pernah dialami bangsa ini.

Gaya bicaranya yang tenang, runtut dan sistematis, memudahkan setiap orang untuk memahami arah pembicaraan. Pak Harto yang saya pahami, adalah sosok manusia yang luar biasa. Pantaslah dia mampu berkuasa selama 32 tahun lebih di negeri ini.

Terlepas dari bermacam penilaian orang kepada Pak Harto, sesungguhnya kita bangga memiliki pemimpin berkelas. Entah karena kurangnya reperensi saya soal penguasa orde baru itu, namun saat bertemu dengannya saya menilai Pak Harto sebagai pemimpin yang punya karakter.

Pak Harto menurut saya kaya pengalaman, luas wawasan, dalam pemikiran dan tinggi cita-cita. Pak Harto asset bangsa yang harus dicatat dalam sejarah. Dan sebagai anak desa yang lahir di pedalaman Tapanuli dan hanya jurnalis biasa di kota Medan, saya bangga bisa bertemu dengan Pak Harto walau setelah dia tidak berkuasa lagi.

Bersama Pak Harto, saya kehabisan pertanyaan. Ilmu teknik wawancara yang pernah saya pelajari, saat itu betul-betul saya keluarkan tanpa tersisa sedikit pun. Sebagain dari hasil wawancara itu, pernah saya tulis di media tempat saya bekerja dan sebagian besar memang hanya untuk diketahui dan tidak boleh dipublikasikan.

Kini Pak Harto telah tiada, dia wafat ditengah ketidakjelasan status hukum yang disangkakan kepadanya. Bangsa Indonesia, kembali kehilangan putra terbaiknya. Selamat jalan sang Jendral Besar. ***