fashion pria

KENISCAYAAN PEMEKARAN SUMUT:

PERUBAHAN PARADIGMA KEPEMERINTAHAN
(Bagian Pertama)
Oleh:
Shohibul Anshor Siregar

PEMERINTAH harus mengambil alih kewenangan bersifat proaktif dalam hal pemekaran wilayah dengan paradigma perkuatan NKRI untuk peningkatan nyata kemampuan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh warga. Selain diperlukan perubahan undang-undang, filosofi kepemerintahan pun harus dirubah secara radikal.

Akhir-akhir ini pemekaran itu sudah lebih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan di antara elit lokal yang diikuti situasi rawan konflik horizontal. Berhadapan dengan aspirasi seperti ini pada umumnya para Kepala Daerah ---untuk semua level--- sering menunjukkan sikap kalap, antara lain dengan memperlakukan para penggagas kurang lebih sebagai tokoh separatisme lokal yang mengancam keutuhan NKRI. Karenanya sulit dibantah tiadanya andil Kepala Daerah terhadap semua konflik yang berpangkal pada tuntutan pemekaran wilayah.

Pewacanaan tentang tidak selalu kuatnya hubungan kausalitas antara pemekaran di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di pihak lain, tampaknya secara nasional sedang didorong ke arah terciptanya iklim “taubat pemekaran”, bukan karena usul pemekaran dipandang tak sempat diurusi lagi pada akhir periode pemerintahan 2004-2009 yang sudah tinggal beberapa bulan lagi. Pemerintah pusat dan para tokoh residu (sisa) Orde Baru dicurigai kelak dapat mengartikulasikan “taubat pemekaran” ini menjadi proses pengembalian semangat sentralisme lama.

PERUBAHAN PARADIGMA KEPEMERINTAHAN

Jika pemekaran adalah solusi politik dengan cara memangkas mata rantai birokrasi yang memperlambat atau mereduksi (kuantitatif dan kualitatif) pelayanan terhadap masyarakat, maka dia adalah sebuah keniscayaan. Untuk apa pemerintahan itu buat masyarakat jika (hanya) membebani dalam banyak hal, atau jika untuk sekadar memberi perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak dasar saja tak memiliki kemampuan. Itulah pertanyaan dasar yang menuntut perubahan filsafat kepemerintahan secara radikal.

Pikiran ini sepintas terasa ektrim dan jangan-jangan dianggap berbau subversif. Tetapi hal itu diyakini hanya karena warisan filsafat kepemerintahan konservatif yang lebih nyaman dengan sentralisme dan budaya eksploitatif yang masih belum sembuh. Penjajah mewariskan itu kepada alam pikiran pemerintahan Indonesia, dan belum mengalami perubahan meski sudah gonta-ganti rezim pemerintahan sejak merdeka tahun 1945.

Pada sebuah level pemerintahan tertentu, katakanlah Sumatera Utara yang begitu luas dan dengan tingkat keterbelakangan tertentu pula, sudah terbuktikan bahwa seorang gubernur dengan segenap aparat yang dimilikinya tidak mempunyai kemampuan untuk merubah, atau sekadar memperbaiki taraf hidup masyarakat. Terkenal sebagai provinsi yang kaya raya, tetapi untuk memperbaiki jalan dan infrastruktur vital lainnya tak pernah mampu. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya bertumpu kepada (80% lebih) pajak kenderaan bermotor yang sama sekali bukan cerminan sebuah pemerintahan kreatif.

Dalam “kenyamanan” sebagai tim malas, semua rezim yang saling menggantikan itu hampir tidak terpikir untuk membuat jalan baru, kecuali hanya sekedar tambal sulam buatan Belanda yang dahulu mereka perlukan untuk urusan bisnis dan kordinasi pemerintahan kolonial.

Bayangkan, untuk sekadar menyebut sebuah contoh, jika Bupati Ngogesa Sitepu (yang menggantikan periode kepemimpinan Syamsul Arifin selama 2 periode), atau jika Walikota Binjai Ali Umri, mau pergi ke Berastagi, dia harus dengan sabar menempuh perjalanan macet melalui jalan sempit menuju ke Medan, lalu setelah lolos dari kepadatan lalu lintas itu kemudian akan seperti berbalik arah untuk menempuh perjalanan menuju Berastagi.

Padahal dari Langkat dan Binjai begitu dekat jaraknya dengan Berastagi, tetapi hanya dihubungkan jalan setapak. Lalu jika di jalan menuju Berastagi itu terjadi sesuatu yang menyebabkan kemacetan, maka tidak ada cara selain menonton kemacetan itu karena tidak ada altenatif. Ingatlah bahwa Berastagi itu Daerah Tujuan Wisata penting, dan apa yang diperbuat pemerintah untuk mendukung fakta itu. Cermatilah juga bahwa tidak ada inisiatif, meski urat nadi perekonomian itu adalah infrastruktur jalan yang amat dipercaya bisa merangsang mobilitas yang pesat di kantong-kantong pemukiman penduduk yang memiliki hasil-hasil luar biasa.

Orang yang sering ke Aceh atau Sumatera Barat dengan menempuh jalan darat pasti mengetahui bahwa tingkat kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan di 3 daerah provinsi itu amat berbeda. Ada analis politik yang mengatakan bahwa di Sumatera Utara birokrat dan politisi telah lama bersekongkol “memakan kerikil dan aspal” dengan fasilitasi pengusaha. Tetapi adalah rakyat yang paling menanggung akibat dari ulah para white collar crimers (para penjahat kerah putih) ini.

Beberapa tahun lalu, dengan menggunakan isyu tingkat kerusakan infrastruktur yang parah, Gubsu mengajukan perda pembentukan badan usaha yang khusus mengurusi infrastruktur. Tetapi ada niat jahat yang amat kentara. Fraksi PAN yang waktu itu melakukan publc hearing dengan menghadirkan para akademisi secara argumentative menyimpulkan bahwa pembentukan badan usaha itu tak lain kecuali untuk melibatkan pemerintah sebagai “big boss” dalam mekanisme bagi-bagi proyek. Setelah sekian tahun memang tak terdengar dan tak terasakan kinerja badan itu.

Menapa para Gubernur di Sumatera Utara tidak ada yang mampu mensejahterakan masyarakatnya? Jawabannya amat sederhana. Ketidak-mampuan para pemimpin pemerintahan itu hanyalah disebabkan oleh pikirannya yang senantiasa overload dengan agenda-agenda politik rendah (low politics) yang sama sekali tidak terkait dengan program pensejahteraan mayarakat semisal pemeliharaan stabilitas kekuasaan yang digenggam. Budaya pemerintahan tidak pernah berubah, tak pernah memupuk tanggung jawab sebagai pemimpin, karena memang masyarakatnya pun dibiarkan begitu saja seolah tak mempunyai hak atas pemerintahan yang baik.

Memang ada sebuah filsafat pemerintahan yang sering menjadi panutan di dunia ketiga, yakni jika ingin membangun pemerintahan yang kuat maka rakyat harus lemah atau bahkan dilemahkan. (Bersambung)

Shohibul Anshor Siregar
Koordinator Umum ‘nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya)