Oleh:
Shohibul Anshor Siregar
Tepat pukul 00.00 WIB tanggal 6 Januari 2009 pewawancara senior RRI Pro 2 FM Medan Joni Koto memulai dialog dengan pertanyaan “Pak Aziz, jika terus-menerus Gedung Dewan menjadi kosong karena para wakil rakyat lebih mengutamakan kampanye di dapem masing-masing, kira-kira apa akibatnya?”. Abdul Aziz Angkat (AAA) sembari terkekeh menjawab “kita tidak harapkan kejadian itu, masih banyak agenda yang harus diselesaikan sebelum periode 2004-2009 berakhir dan seluruh wakil rakyat tentulah tetap berusaha maksimal menjalankan tugasnya, apa pun alasannya”.
Topik yang dibahas pada dini hari itu ialah implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak dalam Pemilu 2009. Dialog itu bersifat interaktif, diberinama ASPIRASI MERAH PUTIH dan direlay secara nasional. Banyak yang merespon melalui saluran telefon dari berbagai tempat di Indonesia. Sebagian mengajukan pertanyaan, ada yang memberi saran dan ada pula yang mengajukan permasalahan uang beli nomor urut yang sudah sempat dibayar kepada partai.
Ketika giliran saya tiba, saya awali dengan penjelasan bahwa hal ini memang sebuah perjuangan panjang bagi kalangan civil society di Indonesia yang menginginkan pengarusutamaan kedaulatan rakyat dalam demokrasi politik. Awalnya kita pesimistik karena gagasan itu hanya muncul dari sebuah partai papan tengah (PAN) yang tidak memiliki kemampuan secara kuantitatif untuk melawan mainstream politik yang masih menginginkan sistem lama yang tak ubahnya “memilih kucing dalam karung”. Jika Golkar dan PDIP ingin, sebetulnya kedua partai terbesar ini bisa mendikte keputusan parlemen. Tetapi anehnya kedua partai ini tercatat buru-buru memodifikasi sistem penentuan caleg terpilih secara internal justru pada saat tandatangan di atas UU pemilu “belum kering”. Ini fakta demokrasi yang amat gamang di Indonesia.
Saya juga menjelaskan prediksi saya tentang tiadanya kemungkinan kerusuhan sosial yang akan muncul karena pemilu 2009. Alasan saya sederhana, bahwa kejadian-kejadian yang akan muncul pada pemilu 2009 tidak akan melampaui bentuk-bentuk pengalaman yang amat buruk dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah sejak tahun 2005 sampai yang terakhir pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008. Selain karena apatisme sosial, faktor masa kampanye yang panjang bisa mereduksi potensi konflik pemilu 2009. Tetapi saya tetap mengkoreksi definisi “aman” yang selalu disematkan pada setiap pelaksanaan pemilu hanya karena tidak ada “perang berdarah”. Bagi saya definisi “aman” harus semakin diboboti nilai, dalam arti kemartabatan dengan tanpa pelanggaran terhadap kemurnian demokrasi. AAA setuju.
Tidak Jual-beli Suara
Saya menggambarkan kemungkinan berbagai bentuk kriminalisasi demokrasi yang akan muncul dengan sistem suara terbanyak, di antaranya jual-beli suara. Saya telah memeriksa DCS (daftar calon sementara) dan DCT (Daftar Calon Tetap) legislatif untuk semua level. Tanpa kecuali semua partai menempatkan elit partai pada nomor kecil. Saya juga menyatakan kecurigaan terhadap kejujuran veryfikasi faktual yang dilakukan oleh KPU terhadap parpol. Jika benar-benar ada veryfikasi objektif, mustahil ada (banyak) partai yang tak mampu memenuhi kuota jumlah caleg untuk masing-masing dapem. Hal yang paling parah, banyak figur yang bernomor urut kecil itu merupakan tokoh dropping yang tidak mengenal dan tidak dikenal di Daerah pemilihannya. Inilah awal kecemasan. Beranikah figur-figur yang bernomor urut kecil itu berkompetisi sehat dengan aktivis partai yang memiliki popularitas dan selama ini setia memupuk kesetiaan konstituen? Jika jual-beli suaralah kelak yang akan menjadi jalan pintas, maka bangsa ini benar-benar akan tergadai dan hanya mengabadikan penyakitnya yang tak kunjung terselesaikan karena tiadanya iktikad dan kejujuran operator-operator yang haus kekuasaan belaka.
Untuk mengantisipasinya AAA setuju semua caleg menandatangani surat pernyataan tidak akan jual-beli suara. Pernyataan itu juga harus dilakukan secara bersama dengan pihak KPU. KPU dalam posisi ini dianggap tidak terkecuali sebagai pihak potensil terlibat. Lembaga legislatif adalah salah satu lembaga yang dianggap paling korup di Indonesia. Siapa saja yang terlibat dalam proses dan formulasinya tentu amat potensil sebagai pelaku korupsi. Inilah dasar mengapa KPU dianggap harus ikut membuat pernyataan, bukan sekadar fasilitator untuk seremoni partai-partai dalam pembuatan pernyataan bersama pemilu damai seperti yang biasa kita saksikan.
Saya tegaskan kepada AAA, “persetujuan anda saya anggap sebagai pernyataan sikap yang amat menggembirakan dari seorang Ketua DPRDSU dan yang juga sebagai Sekretaris sebuah Partai besar di Sumatera Utara. Saya ingin tidak memisahkan diri pribadi Anda dengan semua jabatan kenegaraan dan politik itu, tegas saya. AAA setuju. Sayangnya Ketua KPUD Sumut Irham Buana Nasution yang dijadwalkan hadir dalam dialog itu tidak kunjung tiba sampai acara usai. Padahal saya berharap betul ada keputusan yang mengikat pada dini hari itu untuk mempersiapkan instrumen yang dianggap amat efektif mengeliminasi potensi kriminalisasi demokrasi.
Selain soal teknis mengantisipasi kemungkinan jual-beli suara, AAA juga menyetujui ide yang saya ajukan agar semua caleg memiliki dokumen hasil audit harta kekayaan. Dokumen itu berguna untuk penentuan apakah ada yang diperoleh secara tak wajar untuk dikembalikan kepada Negara jika pada akhir periode ada anggota legislatif yang tidak mampu membuktikan darimana asal harta kekayaannya. Semua ini dimaksudkan untuk memulai perang baru yang serius terhadap korupsi sebagai salah satu musuh terbesar Indonesia saat ini. Sekali lagi, juga karena anggapan bahwa lembaga legislatif itu merupakan salah satu lembaga terkorup. Sekaligus dimaksudkan sebagai bentuk pesimisme terhadap pemberantasan korupsi yang lebih diwarnai oleh retorika seperti yang kita saksikan sekarang, dan dengan demikian akan menjadi agenda terpenting pula bagi pemerintahan yang terbentuk setelah suksesi 2009.
Penutup
Saya kenal AAA sejak menjadi aktivis mahasiswa tahun 80-an. Ia sendiri bergabung dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sedangkan saya giat pada IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Tetapi perbedaan organisasi itu tidak membuat kerjasama menjadi sulit, apalagi komunikasi. AAA seorang yang amat faham adat-istiadat (dalihan na tolu, sistem kekerabatan orang Batak) dan tak pernah mengabaikan kedudukan kekerabatannya sebagai “anak boru” bagi pihak yang bermarga Siregar seperti saya. Ia selalu santun bertutur, menyapa “ipar” kepada setiap lelaki bermarga Siregar yang sebaya, dan “tulang” kepada yang lebih tua dari usianya.
Beberapa waktu sebelum dialog interaktif itu saya bersama Yayasan yang saya pimpin (‘nBASIS) sudah melakukan survei Periode I dalam kaitan popularitas dan elektibilitas politik parpol. Sedikit banyaknya temuan survei itu telah saya bicarakan dengan AAA sekaligus memberi rekomendasi pemenangannya di Dapem Sumut III yang wilayahnya luas itu. Tanggal 3 Februari 2009 AAA yang caleg untuk DPR-RI ini menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan peluang elektibilitas yang sudah terbentuk dan segenap konstituennya di Pak-Pak Bharat, Dairi, Tanah Karo, Langkat, Binjai, Batubara, Asahan, Tanjung Balai, Pematangsiantar dan Simalungun.
Penulis adalah: Koordinator Umum ‘nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya), dan Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU Medan.