Shohibul Anshor Siregar:
GALUH Penentu Kemenangan
Pilkada Putaran Kedua Langkat
Medan (Lapan Anam)
Meskipun menurut data resmi menempati urutan terakhir dalam perolehan suara, namun pasangan GALUH yang merupakan kombinasi Melayu (Fanrizal Darus) dan Angkola/ Batak/ Mandailing (Ustaz Parluhutan Siregar) amat potensil menjadi penentu kemenangan bagi pasangan yang maju dalam Pilkada putaran kedua Langkat yang dijadwalkan 13 Desember mendatang.Demikian prediksi analisis Shohibul Anshor Siregar, dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (’nBASIS); Koordinator Umum Jaringan Relawan Untuk Suksesi Bermartabat (JARE-SMART dalam perbincangan dengan wartawan di Medan, Senin (3/11).
Bagaimana dan apa argumentasi tokoh tersebut ? Berikut kutipannya.
Jika bergabung ke kubu Ngogesa-Budiono (Karo-Jawa), pasangan yang didukung tidak akan mudah diblack-campaign dengan (misalnya) isyu “anti Melayu”, betapapun sesungguhnya isyu itu bisa amat efektif untuk pemenangan kubu Asrin -Legimun.
Pengaruh etnisitas amat lumrah pada setiap pemilihan langsung, dan di Langkat pasti akan mengalami eskalasi yang cepat memasuki putaran kedua. Jika Ngogesa-Budiono berhasil menarik dukungan GALUH, secara teoritis kalangan Angkola, Batak dan Mandailing juga dengan mudah dapat digarap.
Tentu tidak harus dibayangkan 100 %, sebagaimana halnya kalangan etnis Karo diyakini pasti akan ada yang mendukung Asrin-Legimun meskipun hanya Ngogesa Sitepu lah satu-satunya orang Karo yang ada dalam pentas terakhir.
Jika bergabung dengan Asrin-Legimun, GALUH tentu sangat dihargai dan diharapkan karena signifikansi dukungan penentu kemenangan yang semua orang bisa memperkirakannya dengan begitu mudah. Jika Asrin-Legimun menyadari, sebetulnya simpati GALUH lah yang pertama harus mereka rebut, dan dengan diplomasi yang baik mereka duduk bersama membicarakan mobilisasi dukungan.
Tidak Mudah
Tetapi Asrin-Legimun tidak dengan mudah bisa menarik dukungan 4 pasangan yang tersisih. Ini cukup rumit, tetapi dapat diterangkan dengan membaca kecenderungan peta politik yang terbelah menjadi polarisasi ”ambtenar versus partikelir”. Polarisasi ini diperkirakan berkembang semakin antagonistik tidak sebatas arena pilkada.
Segi positifnya ke depan tentu ada. Dalam kerangka pembentukan good governance misalnya, suara-suara pengimbang yang muncul dari kubu lawan bisa menjadi rambu-rambu politik yang kuat, bahkan bisa melebihi kekuatan jaringan partai politik yang memposisikan diri sebagai oposan.
Secara psikologis berdasarkan catatan lapangan tentang interaksi antar kubu dalam pilkada putaran pertama di Langkat, kubu GALUH sama sekali tidak akan mengalami kesulitan yang berarti untuk bergabung penuh dengan kubu manapun. GALUH dikenal amat damai, tak pernah memfitnah dan tak ingin kena fitnah. Hanya saja faktor ketidak cukupan modal sajalah pasangan ini tidak menjadi pemenang.
Di tengah taburan uang yang disinyalir begitu fantastik dalam pilkada Langkat, khususnya pada malam hari sebelum pencoblosan, pasangan GALUH masih memiliki
pemilih yang tahan terhadap godaan money politic tanpa mengimbanginya sama sekali dengan tindakan apapun kecuali sekadar memberi semacam inisiasi (peneguhan moral dan spritual) kepada konstituen.
Etnis Jawa sebagai salah satu mayoritas di Langkat tidak mungkin bulat ke salah satu kubu mengingat kedua pasangan yang bersaing sama-sama punya wakil orang Jawa. Dari karakteristik kejawaan yang dimiliki oleh kedua tokoh yang sekarang sama-sama menempati posisi wakil dalam kubu yang bersaing ini, tampaknya sama-sama memiliki unsur kedekatan yang tak berbeda dengan mayoritas. Dengan memakai pendekatan struktur kepaguyuban Jawa juga keduanya diperkirakan memiliki daya tarik seimbang di tengah etnis mereka.
Data Politik
Tidak ada proses pembelajaran demokrasi dari Pilkada di 7 Kabupaten di Sumatera Utara yang dilangsungkan bulan Oktober 2008. Hal ini merupakan fenomena lanjutan dari pilkada-pilkada langsung sejak 2005 di bawah UU No 32 Tahun 2004.
Dalam rentetan sukses lokal sejak 2005 itu kriminalisasi demokrasi menjadi fenomena ajeg (kerap terjadi) dengan modus utama money politic dan di tempat tertentu telah terjadi penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk memaksakan kemenangan.
Oleh karena itu apa yang didapatkan dari proses demokrasi prosedural itu hanyalah fakta politik formal, dan sama sekali sulit disebut sebagai data yang melukiskan aspirasi politik masyarakat. Dari pengalaman ini bisalah disebut bahwa peluang kemenangan bagi satu pasangan dalam pilkada ditentukan bukan saja oleh interaksi berimbang antara Figur, Jaringan dan budget, melainkan juga oleh faktor kemampuan berbuat curang. Jadi siapa yang paling mampu berbuat curang, dialah yang paling berpeluang menang.***