Catatan : Mayjen Simanungkalit
LATONG adalah tumbuhan berbisa yang mampu membuat orang bringas. Lajim disebut Klatang, tumbuhan liar yang hanya ditemukan di daerah tropis. Jika kulit kita tersentuh daunnya saja, panasnya bukan main. Kulit bisa terkelupas, apalagi selalu ingin digaruk. Jika saat mandi, dipastikan orang yang kena Latong akan menjerit,sakit dan pedih.
Sedangkan Aek adalah air dalam bahasa Indonesia. Maka Aek Latong, adalah air klatang. Wah, banyangkan itu. Sangat menakutkan dan selalu diwaspadai agar tidak tersentuh jika melewati hutan semak belukar.
Namun Aek Latong yang popular sejak tahun 1999 tak lain adalah nama satu desa di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan yang letaknya sekira 5 KM dari kota Sipirok. Desa ini dahulu pernah dihuni 27 kepala keluarga, letaknya persis dilereng Bukit Barisan. Dibawah perkampungan ini, terdapat jalan lintas Sumatera (Jalinsum).
Tahun 2000 terjadi penomena alam, desa itu retak, rumah rata dengan tanah. Ahli pulkanik mengatakan, terjadi pergeseran kulit bumi. Warga tak tahu istilah itu, mereka hanya menjerit dengan panggilan “Suhul” saat lalo (gempa bumi) mengguncang dimalam gulita.
Pemkab Tapsel memindahkan semua penduduk ke desa lain. Kini Aek Latong tinggal bongkahan tanah longsor, yang tidak pernah stabil. Jalan Negara dilokasi itu, juga ikut-ikutan hancur dan menjadi agenda proyek bagi pihak Pekerjaan Umum. Tidak terkira berapa dana yang sudah dikeluarkan guna menangani jalan Aek latong, tapi sampai kini tidak berujung.
Sejumlah pakar sudah dikerahkan guna menangani jalan tersebut. Tapi tetap saja, satu hari baik, enam hari rusak. Satu minggu bisa dilalui, tiga minggu rusak parah. Rusak-baik,rusak-baik dan seterusnya.
Tapi mengingat pentingnya sarana transportasi yang menghubungkan P. Sidimpuan-Medan via Sipirok itu, miliaran rupiah dana terus ditumpahkan pemerintah untuk memperbaikinya. Bahkan hingga saat ini, mirip seperti seramnya Latong bagi manusia, jalan disana tetap menakutkan bagi pengendara. Dan perbaikan masih terus dilakukan meskipun hanya sebatas untuk bisa dilewati saja.
Sesungguhnya orang kampung-kampung pun tahu, jalan itu harus mengalihkan ke sisi kanan atau sisi kiri. Pilihan itu logis, apalagi sejumlah perkampungan di sisi kiri dan sisi kanan jalan Aek latong, memungkinkan untuk dijadikan jalur alternatif. Sedangkan, tawaran agar dijadikan jalan laying, tentu sulit diujudkan karena pemerintah kita terbiasa menabur mimpi.
Alternatif paling memungkinkan dan tidak muluk-muluk adalah, memindahkan jalur lain ke sisi kiri dan sisi kanan Aek Latong. Dahulu ada tawaran agar jalur Simangumban-desa Hopong Pahae Jae ke Ramba Sihasur- Silangge Sipirok Tapsel dijadikan alternatif. Tapi usulan itu, redup ditelan bumi. Entah mengapa.
Pemkab tapsel juga telah menawarkan sulusi, membuka jalur Hutaimbaru-Sipirok Tapsel. Persoalannya, peraturan di negeri kita ini kadung hubar-habir. Seolah satu departemen beda Negara dengan departemen lain. Buktinya, saat Pemkab Tapsel meminta izin Menhut agar meminjampakai 1 KM areal hutan lindung untuk mengalihkan jalan Aek Latong, malah dilarang Menhut dengan tegas. Amango fuang.
Padahal, usulan Pemkab Tapsel itu justru membantu mengatasi persolan yang dihadapi Negara. Eceknya, toh semuanya untuk kesejahteraan rakyat. Agar Jalinsum itu dapat dilalui, Pemkab Tapsel hanya memohon memakai areal hutan Cagar Alam Batu Ginurit Sipirok sepanjang 1 kilometer ,sebagai bagian dari 10 km panjang jalan yang direncanakan.
Melihat prilaku para petinggi negeri ini dalam menyikapi jalan Aek Latong, nyata betul betapa tidak pernah serius mengatasi masalah. Malah yang muncul belakangan adalah, adanya pernyataan Plt Kepala Dinas Jalan dan Jembatan (JJ) Sumut, Naek Hutagalung, bahwa pemerintah berencana membangun jalan baru sepanjang 110 kilometer dari Siborong-borong ke Sipahutar ke Tandosan dan tembus ke Sipirok.
Kata dia seperti diberitakan media massa, sudah dilakukan studi kelayakan dan rincian desain tekniknya. Pembangunannya diharapkan masuk program bantuan Bank Dunia melalui proyek West Indonesia Road Implementation Project (WIRIP) dengan dana sebesar Rp300 miliar lebih.
Warga Pahae mencium ada glagat tak beres dalam pengalihan Aek Latong itu ke jalur Pangaribuan. Saat unjukrasa ke DPRDSU Senin kemarin, mereka bertanya, kenapa pengalihan Aek Latong tidak tetap lewat pahae ?. Saya pun tak tahu. ***