fashion pria

MEKARKAN SUMUT 10 PROVINSI


Catatan : Shohibul Anshor Siregar
PEMERINTAH harus mengambil alih kewenangan bersifat proaktif dalam hal pemekaran wilayah dengan paradigma perkuatan NKRI, untuk peningkatan nyata kemampuan Negara dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh warga.

Hal itu akan memerlukan tidak saja perubahan undang-undang, melainkan juga filosofi kepemerintahan. Selama ini pemekaran itu lebih sebagai ajang perebutan kekuasaan di antara elit lokal yang diikuti dengan situasi rawan konflik horizontal. Bahkan lebih buruk lagi, para inisiator pemekaran sering diposisikan sebagai tokoh separatisme.
Jika pemekaran adalah solusi politik memangkas birokrasi pelayanan terhadap masyarakat, maka dia adalah sebuah keniscayaan. Untuk apa pemerintah itu buat masyarakat jika hanya membebaninya dalam banyak hal, itulah pertanyaan dasarnya. Jadi filsafat kepemerintahan harus diperbaiki, bahwa masyrakat tak perlu sebuah pemerintahan bentuk apapun itu jika tak memberinya kesejahteraan termasuk perlindungan menyeluruh.
OEVRLOAD
Di sebuah level pemerintahan, katakanlah Sumatera Utara, yang begitu luas dan dengan tingkat keterbelakangan tertentu, sudah terbuktikan bahwa seorang gubernur dengan segenap aparat yang dimilikinya tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk merubah, atau sekadar memperbaiki, taraf hidup masyarakat.
Terkenal sebagai provinsi yang kaya raya, tetapi untuk memperbaiki jalan dan infrastruktur vital lainnya tak pernah mampu. Hampir tidak ada jalan baru, kecuali hanya sekedar tambal sulam jalan buatan Belanda yang mereka buat dahulu untuk urusan bisnis dan kordinasi pemerinthan kolonial.
Misal, jika Bupati Ahmad Yunus Saragih atau Walikota Ali Umri mau pergi ke Berastagi, dia akan dengan sabar menempuh perjalanan macet pada jalan yang sempit ke Medan , lalu seperti balik arah untuk menempuh jalan menuju Berastagi.
Padahal dari daerah yang dipimpinnya begitu dekat jarak degan Berastagi itu. Tetapi tidak ada jalan kecuali jalan setapak. Lalu jika di jalan menuju Berastagi itu terjadi sesuatu yang menyebabkan kemacetan, maka tidak ada cara selain menonton kemacetan itu karena tidak ada jalan altenatif.
Perhatikanlah, tidak ada inisiatif, meski urat nadi perekonomian itu adalah infrastruktur jalan yang bias merangsang mobilitas yang tak terbayangkan di kantong-kantong pemukiman yang memiliki hasil-hasil luar biasa. Ketidak mampuan para pemimpin pemerintahan itu disebabkan oleh pikirannya senantiasa overload dengan agenda-agenda politik yang sama sekali idak terkait dengan program pensejahteraan mayarakat semisal pemeliharaan stabilitas kekuasaan yang digenggam.
PROVINSI-PROVINSI KECIL
Dengan pengalaman itu maka Sumatera Utara sebetulnya hanya memerlukan pemimpin-pemimpin “terjangkau” dalam arti kata rakyat bisa akses dan kepentingan rakyat dimungkinkan menjadi agenda nomor satu di benak pemimpin itu.
Caranya dengan memekarkan Sumatera Utara menjadi paling sedikit 10 (sepuluh) provinsi kecil-kecil. Nanti rakyatnya akan memiliki social control yang baik, dan dengan demikian Gubernur di provinsi-provinsi kecil itu pun akan memiliki waktu untuk bergotong royong membersihkan parite yang sumbat di lingkungan mereka.
Kapasitas pemimpin yang sudah teruji tak satu pun yang memiliki kemampuan sampai detik ini, factor lack of social controle dari masyarakat, dan fakta keluasan wilayah serta besaran masalah, merupakan fakta-fakta empiris untuk keniscayaan pemekaran Sumatera Utara 10 provinsi kecil. Ini teraphy politik yang memihak rakyat.
PERUNDANG-UNDANGAN
Konsekuensinya harus dirubah perundang-undangan yang memberi wewenang epada pemerintah pusat untuk melakukan perencanaan dan evaluasi pemekaran.
Jika Deliserdang misalnya ditanyakan kepada Bupati Amri Tambunan mau dibuat berapa Kabupaten, tentu ia akan menolak itu. Dia tak akan mau kehilangan kekuasaan untuk semua wilayah yang di dalamnya terkandung berbagai sumberdaya, termasuk sumberdaya ekonomi.
Wewenang baru harus diberi oleh UU kepada peerintah pusat untuk mengatur bagian-bagian mana dari Deliserdang itu yang harus dimasukkan ke Kota Medan, Karo dan seterusnya. Jadi tak perlu ada pertengkaran antara pemerintah Kota Medan dengan pemerintah Deliserdang, begitu juga dengan pemerintah Karo.
Percayalah, pertengkaran itu bukan untuk dan demi rakyat, itu hanya soal berapa besar PAD yang mau dikelola. Tidak ada motif lain. Jadi tidak ada kepentingan rakyat secara langsung disitu.
Dalam perundang-undangan yang masih dalam benak itu pemerintah pusat tidak sekadar merencanakan, tetapi juga mengevaluasi secara objektif.
Harus ditegakkan kriteria yang benar-benar objektif, tidak seperti proses pemberian beraneka macam penghargaan kepada para kepala daerah yang kebanyaan lebih bersifat amat politis.
PROVINSI TAPANULI
Jika bukan karena munculnya kekhawatiran akan agenda tersembunyi yang rawan konflik, tentu saja resistensi terhadap perjuangan pendirian provinsi Tapanuli tidak akan muncul.
Lihat saja proses perjuangan pendirian provinsi tapanuli tersendat karena resistensi politik masyarakat luas, sebagian dari para penentang provinsi tapanuli itu malah sedang giat berjuang untuk mendirikan provinsi baru Tapanuli Bagian Selatan.
Jadi intinya bukan anti pemekaran, tetapi gagasan yang tidak mungkin disepakati bersama oleh komunitas yang lebih luas. Di Sumatera Utara, terlebih penduduk yang berdiam di wilayah calon provinsi controversial Tapanuli itu. ***

Shohibul Anshor Siregar, Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU Medan . Koordinator Umum ‘nBASIS. Koordinator Umum JARE-SMART. Korda AROPI Sumut. Korda LSN Sumut-Aceh. 081396032444