Medan (Lapan Anam)
Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin mengatakan, kelangkaan pupuk khususnya pupuk bersubsidi di daerahnya dipicu akibat besarnya perbedaan antara ketersediaan atau alokasi dengan kebutuhan riil di lapangan.
"Pupuk langka karena alokasi memang minim atau jauh lebih rendah dibanding kebutuhan," katanya ketika menyampaikan nota jawaban atas pemandangan umum anggota DPRD Sumut tentang Rancangan Perubahan APBD (RP-APBD) Sumut 2008 pada rapat paripurna DPRD Sumut di Medan, Jumat (14/11).
Hal itu dijelaskan gubernur menjawab pertanyaan anggota dewan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Rafriandi Nasution, ketika menyampaikan pemandangan umum fraksinya pada rapat paripurna Rabu (12/11) lalu.
Menurut gubernur, alokasi pupuk bersubsidi tahun anggaran 2008 hanya mampu memenuhi kebutuhan pupuk urea sekitar 48,37 persen, superphos (SP) 8,57 persen, ZA 24,22 persen dan NPK 29,56 persen dari kebutuhan riil Sumut.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada Mei lalu Pemprov Sumut telah mengajukan permohonan penambahan alokasi pupuk bersubsidi, khususnya urea untuk tahun 2008 kepada Menteri Pertanian cq Dirjen Tanaman Pangan.
Pemprov Sumut mengajukan penambahan sebanyak 74.395 ton pupuk urea, 65.555 ton pupuk SP, 64.486 ton pupuk ZA dan 32.569 ton pupuk NPK. "Namun sampai saat ini permohonan kita itu belum juga dipenuhi," katanya.
Gubernur mengatakan Pemprov Sumut juga telah melakukan realokasi pupuk bersubsidi antar kabupaten/ kota sebanyak dua kali melalui Keputusan Gubernur No. 521.33/2676/K/Tahun 2008 tanggal 5 Agustus 2008 dan Keputusan Gubernur No. 521.33/3692/K/Tahun 2008 tanggal 28 Oktober 2008 sebagai tindak lanjut keluarnya Keputusan Dirjen Tanaman Pangan No. 09/Kpts/HK.310/C/09/2008 tentang Realokasi Antar Provinsi.
Hal lain yang telah dilakukan adalah melaksanakan koordinasi antar semua pihak yang terkait dengan penyaluran pupuk bersubsidi di Sumut, mulai dari produsen (PT Pusri dan PT Petrokimia Gresik), distributor hingga pengecer di tingkat kecamatan, serta mengaktifkan komisi pengawas pupuk provinsi dan kabupaten, katanya.
Mengenai pestisida, gubernur menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pengawasan mekanisme peredaran pestisida di lapangan Pemprov Sumut dan kabupaten/kota telah membentuk tim pengawasan pestisida yang secara rutin melakukan pengawasan, monitoring dan pembinaan kepada petani dan distributor serta kios- kios penjual pestisida.
"Terkait harganya yang mahal, itu karena pestisida menggunakan bahan impor sehingga harganya sangat tergantung pada nilai tukar dolar di pasar," katanya.
Mengenai benih yang tidak tersedia dengan kualitas standar, ia mengatakan kemampuan balai benih induk (BBI) seperti PT Sang Hyang Sri dan PT Pertani serta penangkar benih di kabupaten/kota masih terbatas, dimana produksinya belum dapat memenuhi kebutuhan benih di Sumut.
"Kebutuhan benih rata-rata per tahun sekitar 21 ribu ton, sementara benih yang diproduksi hanya sekitar 11 ribu ton saja. Tapi kita tetap akan terus melaksanakan program pengembangan perbenihan dengan melakukan pembinaan dan pengembangan penangkar benih melalui pelatihan-pelatihan bagi petani dan penangkar benih," katanya. (ms)