Puisi “Nurani” Zakaria Bangun SH,MH
ANTARA PERGOLAKAN BATIN
DAN PEMIKIRAN KRITIS SEORANG WAKIL RAKYAT
KETIDAKADILAN muncul dari prilaku yang tidak memiliki hati nurani. Dampaknya, kerakusan dan sikap tidak peduli kepada sesama, menjadi lebih menonjol. Rakyat pun hanya bisa kecewa, sebab prilaku tersebut justru mewabah dikalangan elit politik.Demikian antara lain yang bisa ditangkap dari puisi karya Zakaria Bangun SH,MH yang dibacakan seorang wartawan Medan, Mayjen Simanungkalit, pada Parade Puisi berthema “Pahlawan Bunga Bangsaku” di halaman utama gedung DPRDSU, Jalan Imam Bonjol Medan, Senin 10 Nopember 2008 silam.
Dalam parade puisi dihadiri Gubsu dan Muspida Plus, artis Hj Neno Warisman dan tokoh dari simpul masyarakat Sumut itu, puisi Zakaria Bangun juga anggota Fraksi PDIP DPRDSU, mengglegar bak halilintar di terik matahari.
Walau dibacakan menjelang akhir parade, namun bait-bait puisi berjudul “Masih Adakah Nurani” itu, masih memukau. Agaknya, penyebab itu tak lain karena bait-bait puisi itu merupakan cermin pemikiran kritis serta pergolakan panjang batin seorang wakil rakyat.
Dengan gemilang, Zakaria Bangun menghempaskan kritikan pedas lewat untaian bait demi bait. /………..Rakyat menangis rakyat merintih/rakyat menangis untuk sejengkal perutnya/kau..kau..tetap bersandiwara/menikmati kue kue disana/tanyaku masih adakah nuranimu ?....../
Walau mengaku bukan sebagai penyair, toh Zakaria Bangun mampu menyapa dengan jujur. Ungkapan hati yang jujur lewat puisi itu, juga tak menggunakan kata-kata sulit yang banyak tafsiran. Tapi malah dengan kata-kata sederhana apa adanya. Tak berbelit-belit, mudah dipahami, enak dibaca dan didengar, dan jelas maksudnya.
Puisi “Masih Adakah Nurani” cukup sederhana, tapi luar biasa. Terdiri dari satu bait, empat baris, satu tanda baca. Makna puisi ini pun cukup mudah kita pahami. Orang yang membaca dan mendengarnya tak perlu lelah kerutkan dahi, tak perlu coba-coba buat tebakan maknanya.Sekali baca langsung paham.
Kelebihan lainnya, puisi ini pun bisa menjadi otokritik bagi yang membaca dan mendengarnya. Lucunya puisi ini bisa bikin orang tertawa sepuasnya, walau sesungguhnya sudah kena sentilan.
Jujurnya puisi ini karena penulisnya mengungkapkan kegalauan hati dan pemikiran kritisnya tanpa sungkan. Tanpa basa basi dan tanpa kata bersayap. Orang pun tak mungkin salah tafsir dalam memaknai maksud yang ingin disampaikan penulisnya.
Selengkapnya puisi “Masih Adakah Nurani” adalah seperti ini. /....Dikejauhan kumemandangmu/kian hari kau kian menjadi/perubahan tetap ada/perubahan yang gimana ?
/…….Rakyat menangis rakyat merintih/rakyat menangis untuk sejengkal perutnya/kau..kau..tetap bersandiwara/menikmati kue kue disana/tanyaku masih adakah nuranimu ?
/……Pernah kau camkan nalurimu/dimana daya nalarmu/hei tokoh tokoh/yang tetap menokoh/ Petani buruh karyawan nelayan/penuh harap nan tetap mengecewakan/reformasi tetap jadi alasan/kau tetap asik menikmati kepuasan/masih adakah nuranimu ?../
/……Kedaulatan kau katakan ditangan rakyat/kesejahteraan katamu untuk rakyat/nyatanya kesejahteraan tetap ditanganmu/hai panutan, tokoh/masih adakah nuranimu ?../
/…..Demokrasi tetap demokrasi/kedaulatan tetap kedaulatan/disana kau tetap berpestapora/menikmati hasil sandiwara../.
/……Kau berdiri bagaikan tonggak baja yang kokoh/dikelilingi kroni-koni strategi/tuk mengatur rejeki dari segala segi/mumpung lagi terjadi asyik menikmati/dimanakah nuranimu ?/Tuhan berilah kami pemimpin sejati…/.
Melalui puisi itu, seolah Zakaria ingin bertanya, apakah para petinggi negeri ini masih punya hati nurani ? “Ini 'kan pertanyaan wajar. Realitas sosial yang kita hadapi dialam nyata.Kalau sudah tak ada hati nurani bagi elit politik, lalu apa lagi yang diharap rakyat?”, kata Zakaria Bangun ketika ditanya wartawan.
Bagi Zakaria Bangun juga Caleg PDIP untuk DPRDSU dari Dapem Binjai-Langkat ini, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan. Lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya terhadap setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan.
Sebagai wakil rakyat, dia berupaya tetap konsisten dengan sikapnya. Baginya, menjadi wakil rakyat pada hakikatnya harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan kemanusiaan. Agar masyarakat bisa hidup damai, semua kita harus memiliki hati nurani. Begitulah. (Mayjen Simanungkalit)