fashion pria
PERTAMINA JANGAN ASAL TUTUP
KILANG MINYAK PANGKALAN BERANDAN

Medan, (Lapan Anam)

Pertamina diminta agar tidak begitu saja menutup kilang minyak bumi di Pangkalan Berandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sejarah, aset dan nasib masyarakat yang menggantungkan hidup di sana.

"Kita mendesak Pertamina agar mencarikan solusi yang cerdas agar kilang minyak di Berandan itu bisa tetap beroperasi," ujar anggota Komisi B DPRD Sumut Abdul Hakim Siagian, SH, MHum kepada wartawan di Medan, Selasa (26/2).

Usai rapat dengar pendapat dengan Pertamina Unit Pemasaran (UPms) I yang berlangsung di gedung dewan, ia juga meminta Pertamina memikirkan besarnya investasi yang tertanam di kilang minyak yang dibangun tahun 1891 dan mulai beroperasi sejak 1 Maret 1892 itu.

"Harapan kita Pertamina mencarikan solusi cerdas agar kilang minyak di Berandan tidak langsung ditutup begitu saja tanpa mempertimbangkan keberadaan aset, nilai-nilai sejarah dan kepentingan masyarakat di kawasan itu," ujarnya.

Pada bagian lain politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga meminta Pertamina melakukan pengawasan yang lebih ketat, terhadap mutu dan takaran BBM di SPBU-SPBU, mengingat dewasa ini banyak BBM yang diduga dioplos dan takarannya tidak sesuai ketentuan.

Sehubungan dengan itu ia meminta Pertamina agar secara rutin menggelar operasi atau razia-razia, sebagai upaya pengendalian mutu dan menjamin kebenaran takaran BBM di tengah-tengah masyarakat.

"Ini menyangkut imej Pertamina sendiri, karenanya Pertaminan harus benar-benar proaktif melakukan pengawasan, baik terkait mutu maupun takaran BBM," ujarnya.

Abdul Hakim Siagian juga Pertamina mengkaji-ulang kontrak-kontrak energi dengan asing, karena kerjasama dengan pihak luar terbukti tidak menguntungkan bangsa. Dugaan korupsi besar-besaran di tubuh Pertamina juga diminta agar menjadi perhatian serius.

"Minyak kita habis tapi KKN 'melegenda', disamping juga tidak jelas apakah Pertamina itu eksportir atau importir minyak. Ironi bahkan terjadi di Aceh yang produsen gas bumi, dimana pabrik pupuk di sana justru harus tutup karena ketiadaan energi," katanya.

Konversi Gas

Terkait kebijakan koversi minyak tanah ke gas, Abdul Hakim Siagian menilainya aneh dan terkesan dipaksakan, mengingat subsidi elpiji juga masih etrbilang mahal.

Ia mencontohkan harga jual elpiji kemasan 12 kg yang sebesar Rp4.250/kg, sementara biaya produksinya mencapa di atas Rp10 ribu/kg.

Ia bahkan menduga ada "boncengan" dalam kebijakan tersebut, seperti menyangkut proyek pengadaan tabung gas yang belakangan juga bermasalah.

"Kebijakan koversi minyak tanah ke gas sangat aneh. Disamping subsidinya juga besar seperti halnya minyak tanah, pemanfaatan gas juga cenderung lebih berisiko terkait standar keamanan pemakaian, apalagi jika digunakan masyarakat miskin yang ruang tidurnya kadang tidak terpisah dari dapur," katanya.

Karena itu ia berharap ke depan ditetapkan langkah-langkah yang lebih terencana sebaik mungkin. "Semestinya tuntutan konversi ini datangnya dari bawah (masyarakat), bukannya dipaksakan dari atas (pemerintah)," katanya. (ms)