fashion pria

PEKERJAAN TERAKHIR CALEG PEMENANG:

CERDASKAN KONSTITUEN

Masa Kampanye yang sama panjangnya dengan rata-rata usia janin dalam rahim relatif telah memungkinkan para caleg memperoleh konstituen yang masih bisa dipilah dalam 3 kategori: pasti memilih dan bisa diandalkan cari tambahan pemilih, pasti memilih, dan calon pemilih ragu-ragu. Dengan memastikan kemungkinan ancaman kehilangan suara akibat scenario buruk “tangan syetan” di TPS sampai ke KPU dapat diatasi dengan cermat oleh caleg bersama tim pribadi dan jaringan parpol, maka pekerjaan terakhir caleg pemenang pada tiga pekan terakhir adalah mencerdaskan konstituen.

Percuma mengumpulkan massa banyak jika mereka tidak tahu cara memberi suara. Kekhawatiran akan hal ini sudah muncul dari berbagai kalangan, yang pokok pangkalnya berawal pada kinerja KPU yang tidak memiliki program yang memadai untuk sosialisasi. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak, lembaga KPU telah menjadi faktor seleksi awal non demokrasi atau non electoral terhadap para caleg. Sekaligus juga menjadi faktor penyedia kendala demokrasi dalam keseluruhan sistem yang dijalankan. Tidak ada pihak yang patut disalahkan pada masalah akan banyaknya jumlah suara batal nanti di TPS kecuali KPU.

Mencerdaskan konstituen amat sederhana. Ajarkan mereka cara memilih yang benar sembari menciptakan political barrier (kungkungan politik) yang kuat agar mereka tidak lagi bisa diganggu oleh caleg lain meski dengan serangan fajar atau gerakan low politics lain semacam itu. Jika mampu, alangkah baiknya menanamkan prinsip “terima uangnya tetapi jangan pilih orangnya” kepada konstituen.

Politisi konvensional yang berharap instantly memperoleh dukungan, tidak akan ada harapan dalam konteks pemilu 2009. Apalagi politisi yang berharap dapat keuntungan dari jumlah swing voters (pemilih mengambang) meski beberapa bulan lalu disebut-sebut jumlahnya bisa mencapai 30-an persen secara nasional.

Alat peraga menjadi penting, jika dapat semacam duplikat kertas suara. Dengan begitu calon pemilih diharapkan bisa berlatih secara praktis. Harus dibayangkan betapa besar lompatan tingkat kesulitan pemberian suara pada pemilu 2009 dibanding dengan sebelumnya. Selain karena system suara terbanyak model Partai Amanat Nasional yang akhirnya diterima menjadi ketentuan pada pemilu 2009 setelah UU pemilu direvisi lewat judicial review Mahkamah Konstitusi, pemilih Indonesia juga tidak biasa dengan alat-alat tulis. Katakanlah calon pemilih itu sudah tahu nama dan nomor urut partai pengusung dan nomor urut pencalonan yang dicantumkan dalam kertas suara, tetapi masih ada kesulitan lain yakni di kertas suara mana nama yang akan dipilih itu tercantum. Ada empat kertas suara yang disediakan, dan di antaranya dikhabarkan ada yang terdiri dari 2 (dua) lembar (DPRDSU). Itu karena jumlah calegnya tak tertampung dalam kertas suara meski lebarnya melebihi kertas Koran itu.

Foto-foto yang sama atau yang lebih bagus dari yang aslinya itu telah menyebabkan mis-persepsi di kalangan pemilih. Banyak yang berharap akan menemukan foto, tetapi ternyata hanya ada pada kertas suara untuk DPD. Maka dari jamaknya tingkat kesulitan ini, sebetulnya sah untuk mengatakan bahwa pembuat UU bukanlah representasi dari rakyat yang diwakilinya sebab mereka telah melahirkan sesuatu yang tidak mudah bagi warganya.


PDIP DAN GOLKAR AKAN PALING BANYAK KEHILANGAN

Jika tidak mau melakukan pencerdasan konstituen, maka partai yang akan mengalami kehilangan dukungan konstituen pastilah PDIP dan Golkar. Kedua partai ini selain karena jumlah perolehan suaranya pasti mengungguli partai manapun, tak dapat dipungkiri bahwa mereka tersebar sampai ke pelosok yang amat jauh dari kecerdasan. Itulah resiko yang pantas dipertanyakan sekarang juga, mengapa tak sedari dulu mencedaskan masyarakat padahal di tangan ada kekuasaan? Mestinya kedua partai ini segera melakukan taubat nasional dan berjanji, apa pun hasil pemilu 2009 ini, akan segera melakukan peralihan paradigma politik dari pembodohan sistematis ke pencerdasan sosial yang sehat. Jika kedua partai ini masih berprinsip bahwa Negara yang kuat tergantung kepada seberapa bodoh warganya, maka “kiyamatlah” Indonesia.


Sohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum ‘nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya).