fashion pria

Biaya Kampanye Rp 100.000?:

ITU BUKAN PENGHINAAN

PDIP menganggarkan lebih dari satu milyar, sedangkan sebuah partai pendatang baru mengajukan hanya seratus ribu rupiah untuk kampanye pemilu 2009. Rasionalkah fenomena politik di Sumatera Utara itu?

Seorang wartawan yang bekerja untuk sebuah harian nasional menanyakan kepada saya “tidakkah dana besar yang dianggarkan akan mendongkrak image?” Saya katakan boleh saja. Alasannya, persis seperti pameo yang lazim di kalangan orang Tapanuli, memang masyarakat bisa terjerumus pada lakon politik “situmpahi na mora” (pemberi sumbangan kepada orang kaya). Dengan jumlah besar itu, orang bisa terangsang mendekat sambil berharap akan kecipratan serpihan. Tetapi, jika dianalogikan kepada seorang kaya, sesungguhnya ia tak pernah memiliki hati kedermawanan sebagai prasyarat menjadi orang kaya. Jika ia dermawan, ia tidak mungkin menjadi orang kaya. Dermawanan adalah lawan substantif bagi kaya. Itu tidak diragukan lagi. Bahwa orang kaya sering seperti menghamburkan kekayaannya dengan gerakan yang mirip amal, itu hanyalah sisi pandang yang dapat muncul dari orang miskin saja.

Saya contohkan ketika kita rebut tentang PT Pulp Indorayon di Porsea. Saya yakin banyak pejabat kecipratan. Tidak sedikit pula memberi sumbangan kepada masyakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja, meningkatnya peredaran uang di sekitar wilayah tertentu dari lokasi perusahaan, sumbangan sosial ke berbagai lembaga, dan lain sebagainya. Tetapi orang-orang bijak yang kritis menghitungnya penuh kecermatan sehingga kesimpulannya lebih memudaratkan daripada memaslahatkan. Jalan-jalan yang menjadi rute perjalanan mode angkutan raksasa yang membawa bahan baku yang selalu melebihi tonase amat merusak.

Dicek di APBD pemerintahan setempat sumbangannya jauh amat kecil dibanding biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan kerusakan yang ditimbulkan lalu lintas truk raksasa over tonase itu. Sejumlah aparat menjadi terjerumus pada pola hubungan persekongkolan jahat karena pelanggaran aturan pemakaian jalan diselesaikan dengan cara buruk, dan itu berlangsung lama sekali. Kerusakan ini harus disebut kerusakan moral atau mental yang orang sering tidak bisa melihat karena akibatnya tidak sama dengan wajah permukaan jalan yang berlubang menganga. Kerusakan lingkungan, mulai dari polusi udara, hutan yang harus digunduli dengan memakai jaringan kuat sampai pada tingkat pedesaan sehingga orang-orang dari lembaga yang mengurusi hutan seakan sah untuk mengatakan rakyat yang bertanggung jawab. Penyusutan bio-diversitas di perairan dalam radius tertentu, sampai kepada penderitaan berkepanjangan bagi sejumlah rakyat yang wajib menghirup udara berkualitas buruk akibat operasionalisasi perusahaan yang disebut penyumbang devisa itu. Benar, operasionalisasinya dilindungi oleh dokumen AMDAL, yang orang waras harus menyatakannya sebagai kepanjangan dari akronim Aparat Mudah Dalangi Angkara Lingkungan.

Saya tanyakan kepada wartawan itu, “percayakah anda bahwa anggaran Rp 100.000,- itu hanyalah sebuah teguran cerdas dan amat mendidik untuk praktik buruk politik kita saat ini?” Wartawan itu bimbang. Ia juga punya alasan, karena memang terlalu cerdas teguran itu hingga yang akan memahaminya adalah orang intelektual, dan tentunya PDIP secara khusus. Jadi efek politiknya kecil, bahkan tak bisa dideteksi mungkin.

Bahwa pratik demokrasi langsung di Indonesia dinodai oleh hingar-bingar kejahatan sogok, sudah menjadi rahasia umum. Itu pulalah penyebab Indonesia tidak akan pernah memperoleh sebuah kepemimpinan amanah, terpercaya, dan sanggup. Indonesia dalam hal ini bukan berarti hanya kepemimpinan Nasional yang memerintah dari ibukota Negara Jakarta, tetapi juga raja-raja kecil di daerah yang terorbit melalui pemilihan umum kepala daerah kabupaten/kota dan provinsi. Indonesia telah tergadai.

Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum ‘nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya)