fashion pria

Petani Sumut Belum Galakkan Bagot Aren


Medan (Lapan Anam)
Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan dan Penguatan Publik (LAMPIK), Mayjen Simanungkalit,mengatakan petani si Sumatera Utara (Sumut) belum menjadikan tanaman Bagot (aren/enau) sebagai komoditi unggulan.

“Tanaman Bagot masih dikelola secara tradisional dan terbatas untuk bahan baku Tuak dan Gula Sakka (Gula Aren) dengan pola tradisional”, katanya dalam Workshop Peluang Bisnis Komoditi Bagot yang digelar LAMPIK di Medan, Jumat (16/1).

Dalam workshop diikuti 30 orang peserta berasal dari petani, Pemerintah Kecamatan/Pemda serta para aktivis masyarakat lainnya itu, Mayjen Simanungkalit memaparkan peluang dan strategi pengembangan tanaman Bagot sebagai komoditi unggulan yang masih terbuka untuk dikembangkan.

Kata dia, petani di Sumut perlu menggalakkan budidaya Bagot guna memenuhi kebutuhan gula sakka (gula merah) yang terus meningkat. Juga memanfaatkan potensi lahan tidur yang masih terhampar luas di sejumlah daerah.

“Peluang mengembangkan industri hilir dari tanaman Bagot di Sumut masih terbuka lebar. Selain karena pasaran lokal masih terbuka, juga adanya pangsa pasar eksport yang menjanjikan”, ujar Mayjen Simanungkalit juga Ketua Kaukus Wartawan Peduli Petani dan Nelayan (KWPPN).

Sampai saat ini kata dia, Sumut belum mampu memenuhi kebutuhan gula aren di pasaran lokal. Demikian juga untuk minuman Tuak sebagai minuman tradisional khas sejumlah etnis di Sumut, belum mampu dipenuhi secara teratur.

Tiap tahun Sumut hanya mampu memproduksi 2.708 ton gula aren dari lahan sekitar 4.400 hektar yang tersebar secara acak di hutan-hutan tropis. Sedangkan kebutuhan pertahun, Sumut membutuhkan 20.000 ton.

Demikian juga peluang eksport, Sumut belum dapat menyanggupi permintaan gula aren sejumlah negara di kawasan Asia dan Eropa seperti Jepang. Demikian juga permintaan lidi, ijuk dan akar yang semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari tanaman Bagot.
Pemasok gula aren di Jepang saat ini masih didominasi Thailand yang menguasai pasar 49%, Australia 39%, dan Afrika Selatan 12%. Maka bila saja, tanaman Bagot dijadikan sebagai komoditi unggulan di Sumut, petani kita tentu bakal meraup devisa lebih besar lagi.
Mayjen Simanungkalit sendiri kini sedang mengembangkan kebun Bagot diatas lahan 10 hektare di Desa Hopong kecamatan Simangumban Taput. Selain sebagai sarana penelitian tanaman Bagot, areal tersebut juga menjadi pilot proyek bagi pengembangan Bagot di wilayah Pahae Taput.

Dia mengatakan, pohon Bagot adalah komoditi multiguna yang layak dikembangkan secara professional. Mulai dari akar sampai daun, semuanya memiliki nilai ekonomis sangat tinggi.

“Dikampung saya di Hopong, Aren (Bagot) adalah tanaman sitolong na dangol (membantu orang suah), karena memberi manfaat ganda bagi petani”, katanya. (ms)