fashion pria

DESA HOPONG MASIH GELAP GULITA

Oleh Mayjen Simanungkalit

BOTOL bekas diisi minyak tanah,ditutup dengan sabut. Lalu botol berisi minyak itu ditunggingkan,agar sabut itu tersiram minyak. Sabut tersebut selanjutnya dibakar,maka muncullah cahaya. Jika redup,botol itu ditunggingkan lagi.Begitu seterusnya.

Demikianlah cara warga desa Hopong,Kecamatan Simangumban,Kabupaten Tapanuli Utara (Taput),Provinsi Sumatera Utara (Sumut), mengatasi kegelapan malam.Mereka menyebutnya dengan nama Solo atau Lampu Teplok.

Dengan lampu teplok inilah warga desa Hopong mengatasi kegelapan malam,terutama menerangi rumah berdinding papan atau tepas.Bahkan,jika melakukan perjalanan malam ke desa lain, lampu teplok ini juga digunakan. Mereka tak punya Senter seperti kita di kota.

Desa berpenduduk 44 Kepala Keluarga (KK) ini memang masih gelap gulita dimalam hari.Tidak ada penerangan listrik,hanya lampu teplok buatan sendiri.

Bagai penduduk daerah lain di Indonesia,penerangan dengan lampu teplok sudah lama ditinggalkan.Lampu teplok hanya dikenal saat negeri ini dijajah Belanda dan Jepang.

Tapi di Hopong,lampu teplok masih andalan. Tak ada pilihan lain, walau pada pagi hari seisi rumah menjadi kehitaman. Lobang hidung selalu seperti gosong,akibat asap lampu teplok yang terhirup sepanjang malam.

Tidak banyak yang tahu kondisi desa Hopong memprihatinkan,karena tidak terpublikasi ke publik. Lokasi desa yang berada dibalik bukit barisan Sumatera dengan jarak 24 KM dari jalan raya, membuat desa Hopong terisolir dan terabaikan.

Desa Hopong terpencil,dan tidak tersentuh pembangunan. Warganya belum menikmati arti kemerdekaan negeri ini. Mereka dibalut kemiskinan,keterbelakangan dan jauh dari sentuhan hiruk pikuk kemajuan zaman.

Mereka hidup dari pertanian yang dikelola secara tradisional. Tidak ada warga yang berani membuka sawah dan ladang secara luas,karena pasti takbisa dijual ke kota. Sarana transfortasi hanya jalan kaki dengan jarak tempuh 4 jam lebih.

Maka kalaupun bercocok tanam,hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam satu tahun. Sedangkan tanaman budidaya seperti kemenyan dan karet yang tumbuh subur di desa itu, dikelola warga hanya sekedar biaya membeli garam,minyak tanah dan ikan asin.Warga tak mampu memundaknya jika produksi pertanian melimpah.

Tidak tahu persis mengapa Pemkab Taput dan Pemprovsu membiarkan desa Hopong tertinggal.Padahal dari segi geografis,desa itu masuk wilayah NKRI.

Warga desa Hopong juga tak tahu betapa kondisi mereka alami adalah masalah serius bagi negara yang sudah merdeka.Mereka menganggab kondisi keterbelakangan itu adalah takdir yang harus diterima.

Kabar Indonesia sudah merdeka memang sudah mereka dengar. Namun mereka tahu diri sebagai orang kampung yang bodoh,miskin dan tertinggal.
Mereka hanya berharap,sebelum kiamat tiba,desa itu dapat dialiri penerangan listrik dan dapat disinggahi kenderaan roda empat.

Doa itu telah lama mereka panjatkan kepada Tuhan YME,namun sampai kini tak kunjung terkabul. Mereka tetap saja lapar,sakit,bodoh dan tidak memiliki masa depan.***