fashion pria

SBY BELUM SELESAI

Oleh:
Shohibul Anshor Siregar

Jangan marah dengan ungkapan-ungkapan saya dalam tulisan ini. Saya tidak sedang membahas seseorang yang menjabat Presiden Republik Indonesia,(SBY) melainkan seorang politisi mantan Jenderal yang sedang berebut kekuasaan untuk diri, keluarga, partai dan mungkin juga konco-konconya. Tulisan ini dibuat dengan asumsi kuat bahwa SBY adalah Capres yang akan mengalahkan siapa saja pesaing dan berapa banyak pun pesaing pada pilpres mendatang.

SEKARANG dan 5 tahun ke depan lawan terberat SBY adalah dirinya sendiri dan orang-orang yang sudah terkumpul di sekitarnya oleh kemenangan pileg 2009. Kemenangan itu sendiri tak pernah sungguh-sungguh diperhitungkan sebelumnya kecuali oleh para pengelola survey politik (atau politik survey?).

Ia mulai dengan menegaskan kemauannya tentang kriteria cawapres. Pesan tunggalnya cuma ingin menolak JK meneruskan perjalanan ke periode kedua. Salah satu misalnya disebut loyalitas terhadap Presiden sebagai lembaga. Betapapun ia begitu ingin dikesankan amat santun dan negarawan kelas wahid dengan untaian kata-kata dan ekpresi yang -----memang biasanya----- begitu manis, tetapi “batin orang tua” boleh jadi amat teriris. Muncul kesan SBY arogan dan mabuk kemenangan. Mungkinkah situasi kemenangan ini secara tidak sadar memberi dorongan psikologis yang kuat kepada dirinya sehingga menjadi ‘out of control”? Mungkin juga tanpa sadar ia terdorong tampil apa adanya. Saatnya ia menunjukkan jati diri sesungguhnya setelah 4 tahun lebih bersembunyi di balik politik citra. SBY, ya inilah SBY.

Pada jarak waktu yang tak lama dengan fenomena pamullophon (ekpresi tanpa sadar) arogansi itu, sesaat setelah berembuk dengan petinggi Partai Demokrat di Cikeas SBY dan Hadi Utomo amat terkesan “tidak mampu” memberi penjelasan kepada publik, sehingga penyampaian keputusan penting tentang nasib hubungan power sharing dengan Golkar didelegasikan kepada Anas Urbaningrum (Terus terang sebelumnya saya tak pernah tahu sedikitpun tentang Hadi Utomo.

Baru kali inilah ----saat mempersilakan Anas Urbaningrum menyampaikan keputusan politik yang penting itu--- saya lihat dia di layar tv dan dari pidato pengantar yang ia sampaikan saya ingin mengatakan bahwa ia bukanlah apa-apa untuk bisa membawa sebuah partai dengan kemenangan seperti sekarang). Anas Urbaningrum dengan gaya sehati-hati SBY menjelaskan “pemberian thalak” kepada JK dan Golkar.

Lagi-lagi Anas Urbaningrum juga tak mudah melakukan tugasnya untuk tak dikesankan dalam ranah arogansi yang sama seperti ditampilkan SBY sebelumnya. Maka dengan mandat partai, kesalahan pertama SBY yang pasti akan menyulitkan dirinya sendiri ialah ketika menentukan siapa yang akan menjadi calon pendampingnya (Cawapres). Bukankah hal itu akan berimplikasi kuat kepada peletakan dasar koalisi dalam mengelola pemerintahan 2009-2014?

Psikologi Kekuasaan

Iklim kemenangan ini jika tidak dimanage secara baik, dapat memposisikan SBY sebagai orang yang merasa paling kuat dan lupa diri. Selanjutnya ia bisa menjadi tak mampu mendengar kecuali kata hatinya sendiri. Menjadi orang yang merasa paling berkuasa juga lazim menjadi orang yang merasa paling benar. Sebagaimana pak Harto dulu, SBY bisa menjadi sangat sensitif kepada kritik dan mudah marah.

Kemarahannya bisa dimanipulasi menjadi kemarahan Negara, karena kekuasaan dengan mudah dapat merubahnya sedemikian rupa dan hukum pun bisa dibuat berstandar ganda (ingatlah pemberitaan money politic saat kampanye seorang caleg yang kebetulan adalah putera SBY ----tentang Hadi Utomo yang kerabat SBY yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan puteranya yang menjadi caleg itu saya pun bertanya dalam-dalam tentang etika kekuasaan--- sirna tanpa tindak lanjut, sedangkan HM Yusuf Pardamean Nasution caleg Partai Barisan Nasional kemaren sudah disidangkan dengan tuntutan 2 tahun penjara karena tuduhan membagi-bagi uang saat kampanye).

Masih ingatkah bagaimana gaya khas pak Harto berbicara seperti yang dengan mudah ditirukan menjadi komoditi komersial oleh Butet dari Yogya yang menjadi terkenal dalam berbagai acara tv dengan “tiket” keterampilan khsusus itu? Orang Batak dan orang Papua yang sukar sekali meniru dialeg bahasa Jawa sudah sempat terbiasa dengan gaya bahasa Pak Harto karena sebuah proses identifikasi diri yang barangkali bisa juga membuat perasaan safety dalam lalu lintas kekuasaan di Negara yang penuh pengekangan.

Orang-orang menjadi hipokrit (kata orang Medan angkat telor. Lebih parah disebut “amat jilpan” yang adalah akronim “angkat muka jilat pantat) adalah konsekuensi dari iklim itu, dan kenanglah Harmoko untuk memperjelas apa yang saya maksudkan. Akan banyak “panglima talam” (istilah ini pun amat dalam maknanya) yang berseliweran di sekitar penguasa yang tak memerlukan rumus merit system dalam proses rekrutmen politiknya.

Akankah pendulum jam begitu cepat kembali ke tempat asal? Belum begitu lama menurut ukuran sejarah ketika Soekarno mengelola kekuatan politik untuk menempatkan dirinya sebagai prasyarat mutlak untuk eksistensi Indonesia dengan mendeklarasikan diri sebagai Presiden seumur hidup dan dengan segala macam julukan mulai dari Paduka Yang Mulia, Syahidin Panoto Gomo, dan pernak-pernik kekuasaan lain yang mengindikasikan sebuah keraguan yang dalam terhadap kemampuan diri dan manfaat kehadiran di tengah-tengah rakyat.

Tak Berharap Banyak Pada Periode Kedua

Bagi siapa saja di Negara mana saja dan di level pemerintahan mana saja sering akan menunjukkan bakti tulus pada saat-saat awal pemerintahannya untuk mengintip peluang yang diberi konstitusi agar langgeng maju pada periode akhir (kedua). Konon, begitu kata seorang teman, Amerika saja akan selalu kelimpungan jika memasuki periode ketiga setelah ditinggal seorang Presiden yang menjabat 2 periode karena pada periode kedua itu sensitivitas akan berkurang drastis karena relatif tak memperdulikan lagi dukungan rakyat.

Di Medan tahun 2005, hal itulah yang saya katakan kepada rekan Maulana Pohan yang maju melawan Abdillah. Peluang Anda amat tipis karena rakyat relatif sudah “terbius”, dan jika anda menang kesulitan besar akan anda hadapi dalam menjalankan pemerintahan yang begitu semrawut. Akhirnya Maulana Pohan kalah dan ia yakin sebuah buku yang saya tulis “Kota Medan: Berubah atau Ambruk”.

Jika Maulana Pohan yang akan Walikota, saya yakin Kota Medan akan berubah, dan jika yang harus melanjutkan adalah Abdillah maka Kota Medan akan ambruk. Sesama akademisi waktu itu amat sinis terhadap gagasan saya dalam buku itu, tetapi sekarang sebagian mereka mengakui.

Periksalah dengan jeli. Apa yang dikerjakan oleh H Afifuddin Lubis? Seorang Guru Besar seperti Prof.Dr.H.Usman Pelly, MA saja sampai keliru mau mengupah-upah (seremoni adat yang lazim pada sebagian masyarakat di Sumatera Utara untuk memperkuat moral dan semangat kerja) H.Afifuddin Lubis karena dianggap lemah tondi (spirit) untuk memerintah.

Saya menolak pendapat Profesor Anthropologi dari Unimed ini dan cenderung mengatakan ia telah memberi beban tambahan kepada seorang Walikota tak berdosa, yang mewarisi kesemrawutan yang luar biasa sambil memberi energi politik yang kuat kepada kelompok-kelompok pengintai kekuasaan, yang tentu saja begitu rumit anatominya di kota besar seperti Medan .

Limaratus dua belas hari memerintah BJ Habibie banyak sekali mencatat prestasi gemilang (terserah mungkin orang lain akan menilai berbeda). Dialah Presiden yang menujukkan kepada dunia bahwa pemilu bisa juga demokrasi sungguhan bahkan dengan penuh pembelajaran (Biarlah para tentara dan pihak-pihak lain mengganggap Habibie memangkas Wilayah Indonesia dengan melepaskan Timor Timur sebagai yang tercatat the killing field bagi sejumlah prajurit yang bertempur di bawah trend politik dunia pada saat itu).

Tetapi Habibie bukan saja karena bukan orang Jawa, tetapi menjadi pemimpin yang dianggap merupakan bayang-bayang pak Harto yang nota bene masih dalam hujan hujatan begitu resisten. Pemulihan kerusakan Indonesia pasca Pak Harto adalah sesuatu yang amat sangat berat untuk ditimpakan ke pundah Habibie seorang. Tetapi jika Golkar sendiri saat itu termasuk prakarsa resistensi itu di MPR, sampai saat ini adalah sebuah pertanyaan besar buat saya: apakah karena Habibie bukan orang Jawa?

Mengapa Gus Dur gagal? Memang tampaknya Indonesia lebih yakin bahwa sepenuhnya bisa diukur sebagai akibat ketidakmampuan mengelola Negara. Meneruskan kursi yang ditinggal Gus Dur, Megawati Soekarnoputri juga kewalahan. Sedang berkuasa, banyak uang lalu tragis kalah pileg dan pilpres padahal tercatat sebagai pemenang pemilu 2009. Itulah catatan yang bagi saya harus menjadi referensi PDIP untuk menghadapi pilpres 2009. Bukankah Indonesia begitu parah ketika ditinggal pak Harto? Bagi saya itulah sebagian jawabannya untuk kegagalan Gus Dur dan Megawati.

Kita lihatlah hubungan SBY dengan lembaga survey nanti, sebagai salah satu indikator kuat bahwa ia masih tetap peduli atau tidak atas persepsi publik terhadap kekuasaannya. Indonesia menunggu dengan penuh harap.***