fashion pria

FAKTA SYETAN PRODUK MASYARAKAT SYETAN

Catatan : Shohibul Anshor Siregar

Melihat tingkat ketidak-beresan pembuatan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk setiap pemilu di Indonesia sejak reformasi, dan kecenderungan perulangan modus yang sama hingga saat ini, maka kesimpulan yang harus ditarik ialah bahwa Indonesia tidak pernah berkeinginan menyelenggarakan pemilu.

Kesungguhan yang ada hanyalah penyaluran syahwat perebutan kekuasaan belaka bertamengkan demokrasi (pemilu). Pemilu Indonesia, kalau demikian, hanyalah pemilu “ecek-ecek” (istilah orang Medan untuk sesuatu yang penuh kebohongan dan ketidak-seriusan). Bukan derivasi (turunan) dan bukan pula sebuah artikulasi demokrasi.

Peralihan kekuasaan atas nama demokrasi “ecek-ecek” sebagai ending dari agenda nasional yang tak bermartabat seperti ini pastilah tidak akan membawa manfaat bagi rakyat. Siapa yang akan memikirkan rakyat? Pertanyaan itu terlalu lancang untuk iklim demokrasi seperti ini. Jangan-jangan pertanyaan seperti ini akan dianggap sebagai implus (igauan) dari orang gila yang tak memahami realitas politik.

Demokrasi orang-orang Bodoh atau Demokrasi orang-orang Jahat; atau Demokrasi Orang-Orang Jahat Yang Bodoh, atau Demokrasi Orang-Orang Bodoh yang Jahat.


Demokrasi tergantung budaya. Di tangan orang bodoh, demokrasi itu hanyalah mekanisme sia-sia. Di tangan orang jahat, demokrasi itu adalah fungsi dari kegilaan atas kekuasaan yang tak terkendalikan sama sekali. Ia akan jadi angkara murka bagi rakyat. Itu pasti, apa pun bumbu penyelimut yang dibuat.

Bagaimana pula jika demokrasi itu terletak di tangan orang-orang yang bodoh dan jahat, atau orang-orang jahat yang bodoh?

Mungkin akan paling memudaratkan bagi rakyat jika semua orang sudah tahu bahwa demokrasi ecek-ecek itu sama sekali tak bermanfaat (bagi rakyat) tetapi tetap diusahakan terlaksana tanpa sedikit perasaan bersalah atau berdosa. Dalam kepura-puraan itu bukan saja segalanya harus dikesankan justified tetapi sekaligus ingin diakui sebagai paling baik, kalau bukan pahlawan.

Seremoni Pemilu Damai: Rutinitas teateral yang memilukan

Ada lagi pemaksaan isyu pemilu damai untuk maksud yang berbeda. Mengapa tidak? Pemilu damai tidak harus selalu bermakna pemilu tanpa kekerasan. Pemilu damai itu harus berawal dari jujur dan adilnya proses dan tahapan pemilu secara menyeluruh. Mungkinkah ada damai dalam pemilu jika DPT saja tidak pernah secara sungguh-sungguh dibuat walau begitu besar dana dialokasikan? Alokasi dana itu harus diusut sekarang juga, karena terbukti pekerjaan berbiaya besar yang diharuskan oleh undang-undang itu tak diselenggarakan.

Pertanyaannya, kapan demokrasi tidak jatuh ke tangan orang bodoh, tidak digenggam oleh orang bodoh yang jahat, atau orang jahat yang bodoh. Jika itu sudah terwujud, demokrasi yang menggunakan pemilu sebagai sarana penentuan peralihan kekuasaan mestinya bermanfaat lagi bermartabat.

Mekanisme jujur dan adil untuk keberlangsungan peralihan kekuasaan melalui sarana demokrasi yang bernama pemilu yang terlaksana sungguh-sungguh, tak berlebihan jika diimpikan. Dari mana harus memulai? Ada orang yang berfikir apatis tak mau tahu pemilu (golput) meskipun dari sudut lain ada pula pihak (MUI) yang memposisikan sikap dan cara berfikir seperti itu sebagai sesuatu yang termasuk kategori haram (Nauzubillah, agama pun dibawa-bawa untuk melegitimasi pekerjaan ecek-ecek ini).

Tetapi yang paling menyedihkan ada pula usaha untuk membuat orang menjadi golput, pada saat sekelompok rakyat di sudut keawaman yang lain tak sadarkan diri kalau digolputkan. Mereka tidak “diorangkan”, bahkan dihitung secara statistik juga seolah bukan menjadi haknya.

Memulai jadi orang baik Itu memang sulit

Tanpa harus bertengkar berjam-jam dengan mudah nyaris semua orang sepakat bahwa dalam system dan proses politik kita terdapat “virus” pembunuh. Lalu dari mana harus memulai jika akan dilakukan perbaikan? Mula-mula sebaiknya bertanyalah pada diri sendiri: “dimana posisiku dalam pemilu ecek-ecek ini?” Jika sebagai orang bodoh, maka belajarlah lebih baik agar kebodohan dengan sendirinya berhenti bekerja dalam diri. Saat berhenti menjadi orang bodoh, kenikmatan sebagai manusia yang berharga akan muncul.

Salah satu di antara tanda-tandanya yang lazim ialah tidak pernah takut, dan tanggungjawab sebagai warga masyarakat mampu diemban sebaik-baiknya. Sesuatu yang perlu diingat, tak diperlukan sama sekali instrument apa pun (misalnya contreng atau centang) menandai perubahan itu.

Rasakan saja perubahan itu terjadi, dan nikmati menjadi sesuatu yang baru, bermakna, serta gejolak batin dalam berjuang memposisikan diri mencapai karakteristik ideal yang bersifat kontinum (tak terhingga).

Jika termasuk orang jahat sebaiknya tidak usah menunggu dipidana penjara. Meskipun di lingkungan syetan, hati-hatilah bahwa syetan lain bisa saja melancarkan tuduhan sebagai syetan paling berbahaya yang untuk kepentingan persaingan di antara sesama syetan sering harus menjalani proses “syetan makan syetan”.

Niat berhenti menjadi orang jahat tidak usah diawali dengan pergi menanyakan ke paranormal (misalnya) untuk menentukan hari, tanggal dan waktu yang tepat untuk sebuah terminasi (perhentian). Sadarilah bahwa saat ada keraguan untuk berhenti menjadi orang jahat itu, syetan sedang bekerja memimpin.

Maka oleh karena itu pimpinlah diri sendiri agar di dunia menjadi selamat (tak masuk penjara) dan di akhirat (hidup sesudah mati) mendapat tempat terbaik (masuk sorga).
Memimpin diri agar tidak keterusan menjadi orang jahat hanya bisa jika syetan dijauhi. Jangan dengarkan (baik oleh kuping biasa maupun oleh kuping batin) syetan itu.

Hal yang susah tentulah jika sudah terlanjur mengalami “kenikmatan” menjadi syetan. Syetan itu konon mampu memanipulasi kesyetanan menjadi, katakanlah, ketidak-syetanan dalam dunia persyetanan yang mengagumi pengakuan kebaikan dari lingkungan yang mampu diperdaya oleh syetan dan segenap manifestasi kesyetanan.

Jemaah syetan akan bertambah banyak, sehingga perlawanan syetan akan lebih dahsyat. Akumulasi syetan berbeda dengan akumulasi zdat dan material yang lain. Korupsi yang meraja lela adalah bagian dari pertanda akumulasi jamaah syetan. Bagaimana menandai bahwa hari ini tidak ada korupsi untuk mengatakan bahwa syetan sudah pergi jauh ke komunitasnya yang jauh dari kita? Untuk pembuatan parameter (corak-ukur) tidak usah berkompromi dengan syetan. Itu bisa, sangat mungkin.


Pemilu 2009 minus syetan, mungkinkah?

Syetan dan caleg, atau syetan dan politisi jahat dalam posisi dan peran apa saja, adalah 2 hal yang saling mungkin dalam koeksistensi (satu keberadaan). Jika sekiranya hari ini setiap politisi sudah berfikir bagaimana mempengaruhi semua proses dan instrumen pemilu agar menguntungkan hanya bagi dirinya tanpa peduli by hook or by croock, maka sebenarnya pemilu itu sendiri sudah sirna dari alam fikiran. Sisanya hanyalah prosedur formalistik untuk mendapatkan legitimasi palsu dari rakyat. Ini sebuah bentuk kesyetanan juga tentunya, bukan?

Tetapi mengapa sampai muncul fikiran kesyetanan seperti itu pada setiap politisi atau caleg? Jika setiap orang sadar benar bahwa ia tidak mungkin (mengadopsi sifat kesyetanan dengan) menampar guru, meludahi tukang parkir seenaknya dan mencaci-maki supir bus sesuka hati, maka kesyetanan untuk berbuat buruk seperti itu tidak akan pernah terlintas dalam fikirannya. Itulah sebuah analogi.

Pemilu 2009 minus syetan, rakyat yang tak kesyetanan membutuhkan itu.