fashion pria

PASOMBU HOLSO


PUTRIKU NABILA MASUK TEKA

TAHUN ini, tepatnya 14 Juli 2008 kemarin, putri kesayanganku Nabila Febriani Simanungkalit resmi masuk sekolah Taman Kanak-Kanak alias TeKA. Sedangkan dua abangnya Ahmad Waridi Simanungkalit dan Ahmad Hazazi Simanungkalit, naik kelas lima dan kelas empat Sekolah Dasar (SD).

Rasanya waktu berlalu begitu cepat.Aku tak sadar, anak-anakku sudah tumbuh besar. Tanggungjawabku jelas makin berat. Mereka harus menjadi anak yang berguna bagi negeri ini. Satu cara untuk itu, tak lain harus bersekolah. Saya harus bangkit.Ibunya Nande Tigan yang selalu sabar dan cerewet, tidak kalah sibuk atas suasana baru ini. Putriku Nabila, pagi hari sudah bangun. Lalu bergegas merapikan boneka dan tas sekolahnya yang semua serba baru.


Inilah suasana baru yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Beda sekali, ketika dua dua abangnya saat pertama kali masuk sekolah. Nabila, lebih cekatan dan nampak lebih peduli. Dia cerdas, penyayang dan telaten.

“Tak percuma kau putri seorang Jendral”, kataku suatu subuh ketika dia membanguniku dan menyuruh cepat mandi.Bagi saya yang selalu pulang larut malam, sesungguhnya agak risih dengan keharusan bangun dan mandi pada subuh hari. Mata masih mengantuk berat dan badan masih pegal. Tapi, melihat semangat putriku, rasanya muncul semangat baru.

“Bah, masuk era baru pula ini”, batinku setiap saat.Nabila adalah lambang kelembutan seorang gadis dalam keluarga kami. Aku sendiri paham soal itu, dari sembilan bersaudara, kami hanya memiliki seorang saudara perempuan. Selebihnya, “preman dan anak muda”.

Maka ketika putriku Nabila Febriani lahir, aku merasa sangat bahagia. Hidup ini rasanya lengkap, karena sudah memiliki tumpuan harapan masa depan. Nabila juga menjadi kesayangan seluruh keluarga, oppungnya Boru Siagian di Hopong, namborunya Hotma Dewi Boru Simanungkalit di Kasikan Riau, bulang Tigan di Ringin Sari Langkat juga Ngah dan maminya di Langkat.

Bermental Kota

Putriku sekarang sudah masuk TeKA. Panjang jalan yang harus aku tempuh. Melihat anak-anakku yang sudah tumbuh besar, aku teringat perjuangan almarhum ayah dan mamakku dahulu di kampung.Walau hidup di pedalaman Tapanuli Utara, Dusun Hopong,Desa Dolok Sanggul,Kecamatan Pahae Pahae Taput, tak membuat ayah dan mamakku minder. Mereka orang kampung bermental kota.

Walau hanya petani Jengkol di Pahae, dengan kondisi desa yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki satu hari penuh menuju pekan Simangumban, semua anaknya disekolahkan. Dari sembilan bersaudara, tiga diantara kami mengecap gelar Sarjana, selebihnya lulusan SLTA.Modal ayah dan mamakmu hanya Taqwa.

Mereka yakin ayat seribu dinar dalam Al Qur’an : Siapa saja yang bertaqwa kepada Allah dengan sebenar Taqwa, akan diberikan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dan diberikan rejeki dari tempat yang tidak terduga sebelumnya……”.

Ayah dan mamakku tinggal di desa terpencil dan terbelakang, tapi mampu menyekolahkan sembilan anaknya dan menjadi hidup mandiri. Bagiku ini adalah prestasi luaaaaar biasa.

Bagaimana dengan aku ? Aku tinggal di ibu kota Provinsi Sumatera Utara, bekerja di kantor ber-AC dengan tiga anak. Masa sih tak bisa menyekolahkan anak hingga menjadi ORANG ?

“Marhoi-hoi pe au amang tu dolok tu toruan/mengalului marngoluan naboi parbodarian/asalma sahat gellekki da sai sahat tu tujuan/ anakkon hi do hamoraon di au”.

Jangan Pernah Takluk

Dahulu ayahmu tak pernah masuk TekA. Tak juga pakai seragam dan sepatu apalagi tas cantik, seperti yang kau pakai kemarin. Ayahmu, sekolah dengan berjalan kaki satu jam perjalanan, melewati bukit, jurang dan tanah tandus penuh ilalang.

Tiap hari, baju dan celana basah kuyup, karena kena embun pagi yang menempel di daun semak dan ilalang.Ayahmu tak pernah nikmati bedak harum yang selalu diusapkan mamakmu ke seluruh tubuhmu saat berangkat ke sekolah. Tak juga mengenal minyak telon atau minyak kayu putih, yang selalu disapukan mamakmu ke badanmu setiap habis mandi.

Ayahmu dahulu hidup dalam kemiskinan. Kakekmu dan nenekmu yang kalian panggil oppung, hanya petani jengkol dan hidup di daerah terpencil. Ayah tidak naik mobil ke sekolah, tidak juga sepeda motor.Tak ada uang jajan dan tak ada bontot berisi kue bolu seperti yang dibuat mamakmu.

Pagi hari, ayahmu hanya makan nasi dan sayur ubi. Sesekali dilengkapi ikan asin kepala batu. Tapi ayah tumbuh sehat dan bisa sekolah. Oppungmu ingin agar ayah menjadi orang, maka nama ayah juga dibuat MAYJEN. “Pokoknya kau jendral, sudah hebat itu”, begitu kata oppungmu agar ayah selalu memiliki semangat untuk maju.Keluarga kita biasa hidup sudah.

Semua anak oppungmu menjalani hidup dengan kehidupan keras. Itu sebabnya ayah tahan banting, biasa susah dan terlatih gagal. Itu pula sebabnya, ayah tidak pernah izinkan kau dan abangmu menangis. Karena menangis, terbukti tidak akan menyelesaikan masalah.Namun walau hidup susah, ayahmu selalu juara kelas. Kelas enam SD ayah sudah tinggalkan oppung di kampung, karena harus sekolah ke rantau orang. Di kampung oppungmu tak ada SD kelas enam. Itu sebabnya ayah merantau.

Sampai akhirnya ayah merantau ke kota Medan, mencoba hidup mandiri. Tapi uang tak ada, pamili kita di Medan pun tak ada. Untungnya, ayah bekas santri. Ayah pandai azan dan bisa imam sholat, ayah tinggal di Masjid sambil agar bisa kuliah. Cara ini tak lain, sekedar menjalankan tiori cara bertahan hidup. Ya, dengan menempuh berbagai cara.Kau bersyukur punya ayah seorang JENDRAL.

Maka takkan ayah biarkan kau dan abangmu menderita. Takkan kubiarkan kau jalan kaki ke sekolah. Kau, abangmu, juga tulang dan edamu yang kini menjadi bagian keluarga kita, akan ayah lindungi.

Tulang dan edamu itu harus kau perlakukan sebagai abang dan kakakmu sendiri. Karena ayah mereka telah tiada dan ibu mereka entah dimana, maka kitalah yang akan mengurus mereka.

Walau kini kita bukan orang kaya, tapi kita bukanlah orang bodoh. Kemiskinan masa lalu memang masih menular kepada ayah, tapi ayah sudah terlatih.

Ayah sudah paham bahwa tidak semua keinginan harus tercapai.Kita biasa kalah, tapi ayah selalu ingat jargon : Kalah Bukan Berarti Takluk ! ***