Catatan Mayjen Simanungkalit
IBUKU tidak tahu hari ini adalah hari ibu. Dia terlena dengan kesibukan keseharian untuk mengurus ladang dan sawahnya. Maklum, sudah kebiasaannya untuk mencurahkan perhatian kepada sawah dan ladang peninggalan ayahku.
Usia ibuku persis sama dengan usia kemerdekaan RI, karena memang di KTP tertulis hari lahirnya 17 Agustus 1945. Kami yakin, hari lahir itu hanya pande-pandeaan kakek, sebab masa dahoeloe soal tanggal lahir tidak pernah dicatat.
Ibu yang bermarga Siagian, juga tidak pernah usil untuk mempersoalkan itu. Tidak pula dia peduli hari ini hari apa, besok hari apa dan lusa hari apa. Yang dia tahu, hari ini harus begini, besok harus begitu dan lusa harus begono.
Dia wanita desa yang memiliki kecintaan terhadap tugas dan kewajibannya selaku rakyat biasa. Cita-citanya juga sederhanya, bagaimana agar sawah dan ladangnya terurus sehingga mampu menyekolahkan anak.
Bagi dia, anak harus sekolah. Terserah mau jadi apa, dia pun tak paham. Yang saya ingat, ketika kami sudah kelas lima sekolah dasar di desa, ibuku menyuruh kami anak-anaknya segera meninggalkan desa, berangkat ke kota mencari ilmu.
“Jangan kalian menjadi orang bodoh, maka sekolahlah yang tinggi agar pintar. Jika kalian pintar, tak bisa kalian dibodohi orang lain”, katanya suatu ketika.
Bersama almarhum ayahku, ibuku sangat gigih memperjuangkan perbaikan nasip. Mereka berdua adalah idola kami semua, sampai sekarang. Ibuku dan ayahku, menguasai tiori bertahan hidup secara sempurna. Walau bukan anak sekolahan, mereka berwawasan masa depan.
Ibuku adalah wanita pilihan yang bermental kota. Walau sudah ditinggal almarhum ayahku sejak tahun 1997, ibuku masih tegar. Dia tidak kehilangan kendali, malah makin dewasa sebagai matahari keluarga kami.
Kami sembilan bersaudara, tiga diantaranya berhasil meraih sarjana dan selebihnya lulus SLTA dan program Diploma. Cucunya kini sudah terbilang, tinggal berserak di perantauan. Tapi ibuku tetap saja tinggal di kampung kelahiranku, Hopong Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Desa kami terpencil, hanya bisa dilalui jalan kaki dalam setengah hari. Jika mau belanja ke pasar Simangumban, ibuku harus menempuh jalan terjal, berjalan kaki. Kasihan betul kampung ku itu. Indonesia sudah merdeka, tapi desa itu masih terpencil.
Di desa inilah ibuku tinggal bersama salah seorang anaknya dengan sejumlah cucu. Adikku nomor delapan memang tinggal di kampung. Bersama dialah ibuku tinggal. Walau sudah tua, dia masih bertani. Sesekali dia keliling dari satu kota ke kota lain, dari pulau yang satu ke pulau yang lain, menemui anak dan cucu tercinta. Tapi jangan harap dia mau tinggal di kota.
“Aku masih ingin tinggal disini. Kalu aku rindu, aku akan datang”, katanya kepada seorang cucunya ketika ditanya mengapa tak mau tinggal bersama cucu di Medan.
Ibuku memang cinta kampung halaman. Dia masih terbiasa mandi dipancuran, solat di atas pematang sawah. Memetik sayur yang ditanam sendiri, membuka kolam yang terhampar di sawah.
Anak-anakku memanggilnya “Oppung Sibualbuali”, karena kalau datang ke Medan selalu naik bus Sibualbuali. Aku sering membawa cucunya menjemput dan mengantar ibuku ke stasiun Bus Sibualbuali, sehingga anakku memanggilnya Oppung Sibualbuali.
Hari ini, Senin 22 Desember 2008, bangsa ini memperingati hari ibu. Semua teringat kepada ibunya. Ibu yang melahirkan kita ke dunia. Aku juga teringat ibuku, dan tulisan inilah kado yang bisa kubuat. Aku ingin meneleponnya, mengucapkan selamat hari ibu. Tapi telepon di kampungku belum ada. Sinyal HP tak ada disana.
Aku berbahagia, karena anakku mengajak aku pulang kampung bulan ini, karena mereka libur. Mereka bilang rindu oppugn. Mereka tak tahu sesungguhnya yang paling rindu itu adalah aku, sebab dia ibuku. Inangku. Aku pun bertekad akan pulang. Menemui ibuku tercinta, oppugn dari anakku.
“Ya Allah, panjangkan umur ibuku, beri dia kesehatan, lindungi dia dan jaga dia”.***