Bahaya Laten Korupsi
Oleh Mayjen Simanungkalit
BELAHAN dunia menjadikan 9 Desember sebagai hari anti korupsi. Sebegitu pentingkah ? Spanduk raksasa dan baleho terpampang dihampir setiap sudut kota, seperti juga di kota Medan, guna mengingatkan hari itu sebagai hari anti korupsi.
Terlepas dari prasangka, biaya pengadaan spanduk dan baleho itu juga patut dicurigai sebagai praktek korupsi. Berani taruhan ? Periksa dan usut berapa biaya yang dikeluarkan untuk spanduk dan baleho itu. Dari mana sumber dananya, siapa yang mengordernya ?
Jika prasangka itu betul, tentu sangat tragis. Karena untuk mengingatkan orang lain agar jangan korupsi justru dilakukan dengan korupsi. Sebab disana ada praktek mark up, penggelembungan dana yang merugikan keuangan Negara dan memperkaya seseorang atau kelompok.
Kalau mau jujur, gerakan anti korupsi yang muncul belakangan ini belum sesuai harapan. Pemerintah memang telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah menahan sejumlah koruptor, tapi itu hanya bagian kecil.
Diakui ada kemajuan dalam menindak koruptor, namun masih banyak yang tidak dijerat. KPK masih perlu kerja keras.Kita setuju agar KPK dibentuk di Provinsi, guna mempercepat penindakan kasus korupsi itu.
Kita juga sarankan agar korupsi dijadikan sebagai bahaya laten, seperti halnya bahaya laten komunis. Maka Kepres tentang Korupsi, perlu dikeluarkan dengan sejumlah konsekwensi.
Salah satu diantara konsekwensi Kepres Korupsi bahaya laten, kiranya semua administrasi kenegaraan harus dilengkapi bukti bukan keluarga koruptor. Misalnya, pejabat yang akan naik pangkat, harus melampirkan surat keterangan bukan sebagai keluarga koruptor.
Paling tidak dalam mengurus lamaran kerja, seseorang harus melampirkan surat keterangan bukan koruptor dan bukan keluarga koruptor. Dengan itu, orang terindikasi korupsi tidak bisa masuk jajaran pemerintah dan profesi lainnya, termasuk menjadi pejabat publik.
Sebelum ini terujud, pemerintah juga harus konsisten dalam menangani administrasi keuangan. Agar anggaran Negara tidak bocor dan tidak tepat sasaran, sebaiknya penggajian ganda dihapuskan.
Selama ini, penggajian ganda ini jamak terjadi. Misalnya, ada anggota DPRD yang masih rangkap gaji sebagai komisaris BUMD. Ada pengurus KPUD rangkap gaji sebagai dosen dan sebagainya.
Seseorang dapat menduduki dua jabatan publik sekaligus dan memperoleh gaji dari Negara di dua profesi itu. Administrasi Negara kita lemah, sehingga orang dapat terima gaji di dua tempat.
Padahal seharusnya, jika seorang dosen melamar menjadi komisaris BUMD, dia harus memilih satu diantaranya. Jika memilih jadi komisaris, maka gajinya sebagai dosen harus distop. Sebab dia sudah digaji atas jabatan komisaris.
Tapi itulah Negara kita. Teriak bisa kuat, tapi berbuat tidak kuat. Bukankah masih ada anggota KPK, KPU, dan lainnya yang rangkap gaji ?
Jika rangkap gaji tidak dapat dihapuskan, jangan cerita soal anti korupsi. Itu hanya sekedar cakap-cakap, kombur malotup, atau malah sekedar cerita pelipur lara. Amangoi Fuang.***