SEORANG sahabat saya tak mau mengakui kodrat alam. Walau di rumah sudah dipanggil kakek oleh sang cucu dari putranya yang ketiga, malah masih enjoy sebagai Wakil Ketua di organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) untuk tingkat Sumatera Utara.
Gigi pun sudah rapuh, mata rabun dan kulit kriput. Tinggal perasaannya saja yang muda, sedangkan pisik dan usia sudah tak layak disebut pemuda.
Kalau pun harus disebut pemuda, tidak lain karena sahabatku itu memiliki tato di lengan. Eceknya, gayanya memang masih anak muda. Tapi pisiknya jelas sudah tua.
Di Sumut ini, banyak kawan yang merasa masih muda walau pisik sudah dimakan usia. Diantaranya malah berambisi memimpin organisasi kepemudaan, seolah tak rela jika harus dipanggil kakek oleh sang cucu.
Saya sendiri jadi bingung, siapa sesungguhnya layak dipanggil pemuda ? Kalau kakek tiga cucu pun masih mengaku pemuda, lalu bagaimana ini ?
Menjadi anak muda memang sangat asik. Kalau pun berbuat salah, orang tua biasanya maklum saja. “Namanya juga anak muda”. Kalau pun terlanjur menghamili anak orang, biasanya juga dimaklumi. “Namanya masih muda, belum tahu apa-apa”.
Tapi apa jadinya jika sang kakek merasa masih muda ? Apa jadinya jika kakek bertindak seperti anak muda ? Lebih celaka lagi, jika kakek suka rumput muda.
Bah, gawat kita. Perasaan masih muda ini sesungguhnya menjadi salah satu pemicu kasus rumit di negeri ini. Orang Batak bilang : Dang diboto magona.***