Oleh Mayjen Simanungkalit
KETIKA musim haji tiba, kalangan binatang yang masuk kategori hewan kurban gelisah bukan main. Was-was tidak ketulungan. Kambing berusia 1 tahun dan sapi berusia 2 tahun, paling takut. Terutama yang pisiknya sehat dan terawat, hampir pasti akan menghadapi eksekusi mati, sesaat setelah ummat Islam melaksanakan sholat Idul Adha.
Jika kita mengerti bahasa binatang, maka pada bulan-bulan haji akan kedengaran betapa hewan yang dikategorikan haram untuk dimakan, menjadi sangat angkuh. Mereka merasa diatas angin, karena tidak akan diganggu walau berbadan sehat dan gemuk.
Seekor anak Babi malah akan sesumbar mengatakan : “ …Mampus lu kambing, akan di eksekusi mati. Syukur saya jadi anak Babi, tidak ikut diseret-seret untuk kurban karena ayahku haram…..”
Nyatanya, jutaan kambing dan sapi menjadi janda, jutaan anak-anak kambing dan sapi menjadi yatim. Anak-anak pemilik kambing dan sapi juga tak sedikit yang menangis, karena harus merelakan sapi dan kambing kesayangannya meregang nyawa demi kepentingan ibadah kurban.
Sudah takdir hewan kurban ini menjadi sasaran eksekusi saat ritual ibadah kurban dilaksanakan ummat Islam. Ini konsekwensi kebijakan penguasa langit dan bumi yakni Allah Swt mengkonversi Ismail menjadi hewan kurban, saat ayahnya Ibrahim AS istiqomah melaksanakan perintah agar menyembelih anak kesayangannya itu.
Sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat ASH-Shaffaat ayat 103-107: "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya telah membenarkan mimpi itu), sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor hewan sembelihan yang besar ".
Asbabun Nujul atau latar belakang sejarahnya perintah kurban adalah, ketika nabi Ibrahim bermimpi (ruyal Haq). Dalam mimpinya ia mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Itulah yang dijelaskan dalam surat Ash-Shaffaat ayat 102.
Setelah terjadi dialog dengan putranya. Ibrahim mengajak putranya Nabi Ismail, untuk melaksanakan perintah Allah Swt itu. Namun saat ritual eksekusi itu dilaksanakan, Allah Swt mengkonversi nabi Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar seperti diceritakan dalam Alquran surat ASH-Shaffaat ayat 103-107 itu.
KESALEHAN SOSIAL
Banyak orang menganggap masalah ibadah kurban sebagai ibadah sepele. Sehingga untuk melakanakannya tidak begitu diminati. Padahal, dibanding dengan perintah kepada nabi Ibrahim AS yang harus menyembelih putranya, menyembelih hewan kurban tidaklah begitu sulit.
Apalagi hikmah dikandung ibadah kurban sangat besar. Lewat kurban, kita membunuh sifat kebinatangan yang bersemanyam dalam hati. Membunuh keserakahan jiwa, membagi kesalehan sosial dengan masyarakat.
Ibrahim AS tidak bisa tidur sebelum menjalankan perintah menyembelih anaknya. Dia gusar, seolah ada yang belum lengkap jika tidak menyembelih anaknya Ismail. Untungnya, Ismail dikonversi menjadi hewan sembelihan yang besar.
Kita-kita juga, sesungguhnya harus mengambil makna dari peristiwa kurban ini. Sudah harus diupayakan untuk ikut berkurban, walau dalam bentuk paling sederhana. Kuncinya adalah ikhlas, bukan karena pamer atau paksaan.
Jika dikonversi dengan kehidupan saat ini, seharusnya kita berkurban untuk kesalehan sosial. Kita harus mau berkorban untuk kemaslahatan ummat, bangsa dan Negara. Bekerja maksimal sesuai peran dan profesi masing-masing secara benar, dengan landasan ibadah.
Jika ibadah dilaksanakan dengan ikhlas, keridhoan Allah Swt yang akan diperoleh.
Sebaliknya, jika hanya untuk pamer, maka ibadah tidak akan bermakna apa-apa.
Orang sering bertanya, apa yang disebut ikhlas ? Saya sering katakan, ikhlas itu adalah sesuatu yang jika dilaksanakan kita merasa tenang dan puas tanpa beban.
Ibarat kita terdesak akan buang air kecil. Kita akan cari tempat yang nyaman untuk membuangnya, seperti kamar kecil atau bahkan dibawah pohon rindang. Kita belum tenang sebelum bisa kencing, dan akan terasa nyaman jika sudah kencing. Seperti itulah ikhlas dalam beramal, kita belum tenang jika belum melaksanakannya dan merasa nyaman jika sudah melaksanakannya.
Dalam konteks ibadah kurban, seharusnya keikhlasan ini harus ditonjolkan. Dengan itu, hewan kurban bisa dinikmati orang miskin tanpa harus berdesak-desakan seperti kita lihat dilayar televisi. Kita juga nyaman menyaksikan hewan yang dikurbankan, benar-benar bermanfaat bagi orang lain.
Ibadah Kurban wajib bagi orang yang mampu atau berkecukupan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan : "Barang siapa yang sudah mampu dan mempunyai kesanggupan tapi tidak berkurban, maka dia jangan dekat-dekat kemushallahku."
Hadis tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang mampu dan banyak harta tapi tidak mau berkurban. Maka sebelum terlambat, berkurbanlah. Bunuhlah sifat kebinatangan yang bersemayam dihatimu. Berkorbanlah barang sedikit untuk diri dan orang lain. ***