Medan ( Lapan Anam)
Fatwa yang berusaha meyakinkan masyarakat bahwa golput itu haram benar-benar salah kaprah. Pasalnya, pangkal masalah ialah political trust (kepercayaan politik) yang sirna kepada partai dan segenap elit pengelola Negara karena tidak pernah secara sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Demikian pengamat politik dari Universita Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, Shohibul Anshor Siregar, menjawab wartawan di Medan, Senin (15/12), terkait prokontra patwa haram Golput.
Menurut dia, jika ingin masyarakat tidak golput, maka bekerjalah dengan jujur sehingga kekecewaan tidak berujung pada golput. Lagi pula Indonesia menganut sistem pemilu yang “amoral” dalam pengertian, hal yang dipentingkan hanyalah kemenangan semata dan tidak perduli suara siapa mendukung siapa dan dengan cara apa, yang penting perhitungan akhir menang.
Adalah dosa besar arena politik yang kotor semacam ini dipaksakan untuk menjadi urusan yang harus dilegitimasi oleh Islam. Harus pula diingat bahwa UU yang ada tidak mempersoalkan berapa pemilih yang masuk di TPS. “Jadi selain tidak relevan, usul pembuatan fatwa itu benar-benar salah kaprah”, tegasnya.
Semestinya, kata dia, jika agama benar-benar ingin tampil sesuai keinginan agama itu, dan memang betul-betul ingin memperbaiki Negara yang sakit parah ini, maka fatwa yang harus muncul saat sekarang ialah tentang pemilu yang harus “beragama” dalam pengertian bisa menjadi bagian dari ibadah dan tidak boleh menghalalkan segala cara.
Juga fatwa tentang partai dan elit politik yang diharamkan untuk dipilih mengingat manfaat dan mudharatnya sudah nyata-nyata tak seimbang berdasarkan evaluasi empirik di lapangan. Selain itu juga mendeak fatwa tentang bahaya korupsi terhadap aqidah (keyakinan ketuhanan), nilai dan sistem kemasyarakatan, tentang agenda yang wajib dikerjakan oleh pemerintahan 2009-2014, dan tentang sikap Pemerintahan Indonesia terhadap demoralisasi termasuk kecenderungan penghinaan kekuatan dunia terhadap Islam dewasa ini.
Dia mengatakan, terminologi fatwa itu berkonotasi Islam. Oleh karena itu keinginan untuk membuat fatwa anti golput sekaligus juga sebuah penghinaan nyata terhadap umat Islam. Seolah-olah umat Islam ini bodoh dan bisa disesatkan dengan manuver politik yang rendah.
Kemanjaan parpol dan elit politik di Indonesia sudah melebihi batas-batas yang wajar. Sudah korup masih ingin dibela atas nama agama. Fenomena semacam ini sudah berusia panjang. Bukan cuma terjadi selama Orde Baru, juga tidak dimulai oleh Orde Lama.
Dia mensyinyalir, mungkin politik Islam Hindia Belandalah yang menjadi awal kesalahan-kesalahan perlakuan terhadap Islam hingga berlanjut sampai detik ini. (ms)