fashion pria


Yusril Ihza Mahendra :
PRESIDEN BERWENANG BUBARKAN AHMADIYAH

Medan (Lapan Anam)

Mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memiliki kewenangan melarang dan membubarkan organisasi Ahmadiyah. Karena sesuai UU Nomor 1/PNPS/1965 kewenangan melarang dan membubarkan gerakan,perkumpulan dan organisasi hanya ada pada presiden dan bukan pada SKB tiga menteri.

“SKB Tiga menteri tidak memiliki kekuatan hukum melarang organisasi seperti Ahmadiyah, karena kewenangan itu hanya ada pada presiden”, katanya menjawab wartawan di Medan, Selasa (10/6).

Yusril yang ditemui wartawan seusai menjadi pembicara dalam dialog “Momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional” yang digelar Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan mengatakan, kekuatan SKB hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Sedangkan untuk melarangnya hanya menjadi kewenangan presiden.

Yusril juga Ketua Dewan Suro Partai Bulan Bintang (PBB) menjelaskan, jika mengacu kepada UU Nomor 1/PNPS/1965 maka sangat keliru jika pelarangan Ahmadiyah hanya berdasarkan SKB tiga menteri yakni Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung.

Karenanya, kata Yusril, dalam menyikapi pro kontra Ahmadiyah yang harus diterbitkan bukanlah sebuah SKB, tapi keputusan presiden (Kepres). Karena istilah SKB sendiri sudah tidak dikenal lagi dengan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004.

Kata dia, istilah yang benar ialah Peraturan Menteri. Apakah Peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.

Tentang adanya upaya Aliansi Kebangsaan untuk menyampaikan judicial review terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 karena dinilai sudah ketinggalan zaman, tidak sejalan dengan hak asasi manusia, demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen, Yusril menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

“Sebagai tafsiran dan pendapat boleh-boleh saja. Pendapat yang sebaliknya juga ada, namanya saja tafsir dan pemahaman”, katanya.
Namun kata dia , sampai kini keberadaan UU Nomor 1/PNPS/1965 sebagai kaidah hukum postif secara formal masih berlaku. Karena dalam kenyataannya, belum pernah diubah atau dicabut oleh Presiden dan DPR.

Sebagai orang yang mengerti hukum. Yusril menyatakan siap menjadi kuasa hukum pemerintah untuk menghadapi gugatan pihak lain tentang keberadaan UU Nomor 1/PNPS/1965.


“Jika presiden dan DPR mau memberi kuasa kepada saya menghadapi gugatan hukum ke mahkamah konstitusi, saya bersedia. Kita akan lihat hasilnya seperti apa, apakah mahkamah konstitusi akan membatalkan UU itu”, katanya. (ms)