fashion pria

Profil Cagubsu










ABAH WAHAB, DARAH BIRU MANTAN PENJAJA KUE

Catatan : Mayjen Simanungkalit

TIDAK banyak yang tahu, kalau Cagubsu H Abdul Wahab Dalimunthe SH adalah tokoh berdarah biru. Diam-diam, ternyata lelaki kelahiran Labuhan Batu 10 Januari 1939 itu, masih garis keturunan Raja Bilah. Dalam sejarah, Labuhan Batu memiliki empat kesultanan, yakni Kesultanan Bilah,kesultanan Kualuh, kedultanan Kota Pinang dan kesultanan Panai.

Tapi itulah Abah Wahab, walau masih keturunan raja, malah dalam penampilan sehari-hari dia lebih dikenal sebagai manusia biasa. Dia juga tidak memakai gelar kebesaran dalam namanya, semisal sultan atau pangeran atau gelar keberan lainnya.

Anak dari H Daud Dalimunthe dan Dinah Ritonga itu,hanya akrab diapanggil “abah” atau Ayah”. Panggilan itu bukan karena status darah biru yang melekat dibadannya, melainkan karena personifikasi dan ketauladanan yang mencerminkan orang tua yang selalu mengayomi, menyayangi dan membimbing.

Sesungguhnya, masa kecil Abah Wahab juga tidak jauh beda dengan yang lain. Dalam usia 9 tahun, Wahab sudah menjadi anak yatim. Ayahnya wafat di tahanan tahun 1949 karena dituduh sebagai pengikut NICA. Padahal, dia hanya korban fitnah sebab selama ini dia dikenal sebagai tokoh agama di daerah itu.

Keluarga Abah Wahab akrab dengan suasana keislaman yang taat. Ayahnya adalah nasionalis sejati, pernah berguru tentang Islam ke Langkat. Malah, walau suasana masih penjajahan belanda, ayahnya sudah bergelar haji, berangkat ke Makkah dan menetap disana 10 tahun untuk mendalami agama Islam.

Sebagai keturunan raja, sesungguhnya Abdul Wahab Dalimunthe bisa hidup bermewah-mewah. Warisan leluhurnya di Rantau Prapat sangat melimpah. Malah kata Abah Wahab, hampir separuh dari toko yang ada di Rantau Prapat dahulu adalah milik keluarganya.

Sejak kecil ,Wahab sudah ingin hidup mandiri. Harta melimpah, tidak membuatnya cengeng dan manja, tapi malah ingin maju dan bisa hidup di kota. Itu sebabnya dikalangan orang yang mengenalnya secara dekat, dia disebut sebagai anak desa bermental kota.

Lalu apakah menjadi gubernur, merupakan cita-citanya sejak kecil ? Sama sekali tidak. Malah cita-cita dia tidak sampai setingkat gubernur, hanya sekedar jadi Camat pun syukurlah. Itu pun karena waktu anak-anak, dia pernah bertemu seorang camat, yang saat itu dia nilai sangat berwibawa dan disegani.

Seperti halnya yang lain, masa kecil Wahab penuh kenangan dan akrab kehidupan pedesaan. Dia suka main bola dan menghabiskan masa kecil di daerah kelahirannya. Sekolah dasar dan SMP dilaluinya di Rantau Prapat.

Menjual Kue

Karena sudah anak yatim dalam usia 9 tahun, Wahab diasuh neneknya Hj Zubaidah dengan penuh kesederhanaan. Wanita inilah yang selalu mendorong Wahab untuk tetap optimis menghadapi masa depan. Dia sangat disayang sang nenek. Bahkan ketika masih kuliah, nenek selalu membawa Wahab ke Besilam Langkat setiap mau ujian minta didoakan tuan guru.

Ketika masih kecil, Wahab berjualan kue keliling kampung. Tiap sore, tangan kiri dan kanannya menjinjing keranjang kue, keliling kampung sambil berteriak kue…kue… Kue.

Malah Wahab pernah harus mencari akal, agar sang nenek tidak marah karena semua kue yang dijualnya tumpah. Ceritanya, suatu sore Wahab dan kawan-kawan main bola di lapangan dan keranjang kue miliknya dijadikan sebagai gawang. Naas waktu itu, keranjang tempat kue terdendang bola hingga kue berceceran.

Wahab dan kawan-kawan menjadi ketakutan, dan oleh kawannya Wahab disarankan menggosokkan tangan dan kaki ke rumput dan tanah. Tujuannya, agar nenek tidak marah, seolah Wahab terjatuh hingga kuenya terbuang. Saran itupun dilaksanakan, sehingga sampai dirumah sang nenek tidak memarahi Wahab.

Setelah tamat SMP tahun 1957 Wahab telah bertekad akan merantau dan melanjutkan pendidikan ke SLTA. Dia pun berangkat ke Medan . Semula dia ingin masuk sekolah perawat, dengan pikiran perawat bisa berpakaian bersih dan merawat orang sakit. Itu pekerjaan mulia.

Namun saat akan mengikuti tes masuk sekolah, semua peserta harus diperiksa dan harus buka baju. Wahab waktu itu merasa malu buka baju. Dia mengurungkan niat untukmenjadi perawat. Padahal,neneknya saat itu sudah membelikan Wahab pakaian seragam putih yang baru.

Aktivis Kampus

Lalu Wahab mendaftar ke SMA 3 Medan dan tamat tahun 1960. Seterusnya melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum USU . Dimasa kuliah, Wahab termasuk aktivis. Dia pernah masuk organisasi Pandu Alwashliyah. Tahun pertama kuliah pernah ikut HMI. Tapi tahun kedua dia masuk ke PMII dan menjadi bagian dari Nahdlatul Ulma (NU).

Ketika menjadi aktivis pergerakan di PMII, Wahab aktif bersama pemuda dan mahasiswa lainnya. Dia juga ikut memimpin demo kejalanan meminta pembubaran PKI .

Wahab ikut turun kejalan demo menyampaikan tuntutan kepada Pangdam Daryatmo dan Pangkowilhan Mokoginta, agar PKI segera dibubarkan.

Ketika terlibat dalam aksi demo bersama aktivis mahasiswa, dia sering ditegor neneknya. “Kau ke Medan bukan untuk demo, tapi sekolah dan mengaji”, kata neneknya.

Namun Wahab tidak melupakan tugas pokoknya menimba ilmu. Waktu itu system perkuliahan belum menerapkan system kredit semester (SKS),sehingga Wahab baru mengantongi gelar SH dari USU setelah kuliah 7 tahun.***