fashion pria

Makalah

MEWUJUDKAN PEMILU
DAMAI, ADIL DAN BERMARTABAT
Oleh Mayjen Simanungkalit
PENGANTAR:

SEMANGAT Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) adalah, suksesnya pelaksanaan pesta demokrasi itu di Indonesia. Parameternya, pesta demokrasi di 33 provinsi ini - termasuk di Sumatera Utara (Sumut) -berakhir damai, berkeadilan dan bermartabat.

Dengan demikian, secara nasional Pemilu belum bisa dikatakan sukses, jika masih ada kekacauan dan kericuhan dalam pelaksanaan Pemilu. Walau pun hanya di salah satu provinsi, seperti terjadi pada pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Maluku beberapa waktu lalu.

Namun, tidak mudah mewujudkan Pemilu yang damai, berkeadilan dan bermartabat sebagaimana diharapkan oleh seluruh elemen bangsa. Terlebih bila melihat perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal di beberapa wilayah Indonesia yang begitu dinamis dan terbuka.

Fakta yang nampak dilapangan adalah, di era reformasi ini, atas nama kebebasan berdemokrasi, rakyat bisa bebas dan terbuka menyampaikan pendapat, bersikap dan bertindak. Ironisnya, atas nama kebebasan berdemokrasi pula, tak jarang rakyat merasa terlegitimasi bertindak anarkis.

Inilah disayangkan terjadi pada Pilgub Maluku yang hingga kini masih konflik berkepanjangan. Pesta demokrasi yang sejatinya berlangsung damai, bermartabat dan berkeadilan bagi seluruh rakyat, berubah anarkis. Pesta demokrasi pun memicu permusuhan antar sesama masyarakat.

Yang rugi adalah pemerintah. Karena anggaran negara sebegitu besar untuk membiayai pesta demokrsi itu, akhirnya terbuang sia-sia. Dan, lebih rugi lagi adalah masyarakat karena mereka terjebak dalam konflik antar sesama yang berkepanjangan.

Bila dicermati, Provinsi Sumut sebenarnya berpotensi mengalami kecelakaan demokrasi seperti yang terjadi di Pilgub Provinsi Maluku. Sebab, perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal Sumut nyaris tak jauh beda dengan Maluku.

Bahkan, Provinsi Sumut memiiki potensi rawan lain yakni, heterogenitas penduduknya baik suku dan agamanya. Sedang 34 partai politik (Parpol) peserta Pemilu 2009, ada di Sumut. Semua ini menjadi faktor-faktor yang menjadi potensi gesekan kepentingan yang memungkinkan berujung terjadinya konflik yang membuyarkan kesuksesan Pemilu.

Di sinilah yang menjadi alasan kuat betapa pentingnya kemampuan dan kepiawaian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam menyelenggarakan Pemilu. Lembaga ini dituntut tak hanya melaksanakan Pemilu dengan kaku secara tekstual terhadap UU No 22 tahun 2007. Tapi lebih dari itu. Lembaga ini juga harus mampu menerjemahkan landasan hukum ini secara lebih luas dengan konteks perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal.

Bukankah hukum dikodifikasikan sesuai nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat? Bila ini dapat diimplementasikan KPU dan KPUD sebagai pelaksana Pemilu, maka pesta demokrasi yang sukses dengan tolok ukur damai, berkeadilan dan bermartabat akan bisa diwujudkan.


STRATEGI BERBEDA

Meski dilaksanakan serentak dengan mengacu pada landasan hukum yang sama yakni UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, namun strategi pelaksanaan Pemilu yang damai, berkeadilan dan bermartabat di 33 provinsi di Indonesia, sesungguhnya memiliki perbedaan.

Ini seiring perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal di masing-masing daerah. Selain karena faktor karakter dan kultur masyarakatnya yang sangat dinamis serta faktor keterwakilan Parpol peserta Pemilu di daerah itu sendiri.

Semakin heterogen masyarakat suatu daerah, akan semakin tinggi potensi gesekan antar kepentingan. Dan, semakin banyak kehadiran Parpol peserta Pemilu, maka akan semakin variatif pula kepentingan yang ada. Dari sudut pandang sosiologis, semua ini menjadi potensi resistensi yang tinggi dalam Pemilu.

Karenanya, strategi pelaksanaan Pemilu di Sumatera Barat (Sumbar) yang kultur dan karakter masyarakatnya cenderung ”damai”, akan berbeda dengan pelaksanaan Pemilu di Sumut, Maluku maupun di beberapa daerah lain yang iklim politik lokalnya lebih dinamis. Untuk daerah-daerah seperti ini, KPU provinsi harus lebih kuat, taktis dan strategis dalam menyelenggarakan Pemilu.

KPU provinsi tak cukup hanya sekadar memahami 12 azas pedoman penyelenggaraan Pemilu sesuai UU No 22 tahun 2007. Ke 12 azas itu yakni Pemilu yang mandiri, jujur dan adil. Melaksanakan Pemilu yang berkepastian hukum, diselenggarakan tertib dengan didasarkan pada kepentingan umum, penuh keterbukaan, proporsional, profesional, akuntabilitas, efisien dan mengandung efektivitas.

Dalam menyelenggarakan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, KPU provinsi juga harus lebih mampu menerjemahkan secara lebih jauh 16 tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU No 22 tahun 2007. Begitu pula dalam menerjemahkan 13 tugas dan wewenangnya dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Tak terkecuali dalam melaksanakan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU provinsi juga harus lebih cermat dan cerdas dalam melaksanakan 22 tugas dan wewenangnya sebagai pelaksana Pemilu. Begitu pula melaksanakan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU provinsi harus mampu menjabarkan hakikat dari 10 kewajibannya.


KEKUATAN KPU

Kemampuan KPU Provinsi menerjemahkan seluruh tugas, wewenang dan kewajibannya sesuai UU No 22 tahun 2007 dengan perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal, sebetulnya menjadi sebuah tuntutan.

Bahkan, justru hal inilah harus dijadikan sebagai salah satu kekuatan KPU provinsi dalam mewujudkan Pemilu yang damai, berkeadilan dan bermartabat.

Dalam kaitan ini,sesungguhnya sosialisasi Pemilu kepada masyarakat menjadi sangat penting dilaksanakan secara berkualitas dan tepat sasaran. Karena jika sosialisasi tidak berkualitas dan tepat sasaran, kepesertaan masyarakat menyukseskan Pemilu tidak akan maksimal. Malah, bisa jadi membingungkan masyarakat.

Bayangkan bagaimana bingungnya masyarakat pemilih di pedesaan di beberapa daerah di Sumut, tatkala melihat beberapa stiker dan poster bermakna ajakan masyarakat untuk ramai-ramai menggunakan hak pilihnya. Sebab, ajakan tersebut dituliskan dalam Bahasa Inggris, yakni “i’m ready to vote”.

Bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan, khususnya pemilih yang sudah berusia lanjut, apa makna yang akan disampaikan dalam pesan tersebut tidak akan mencapai sasaran. Karena ajakan dengan menggunakan bahasa asing tidak akan dipahami.

Jangankan memahami Bahasa Inggris, untuk berbahasa Indonesia saja sebetulnya masih banyak rakyat kita kurang fasih. Tapi kenyataannya, KPU provinsi justru menyebarkan pesan melalui stiker dan spanduk yang menggunakan bahasa asing.

Karenanya, tidak perlu heran jika apa yang menjadi makna pesan tersebut tidak akan sampai kepada masyarakat pemilih. Masyarakat samasekali tidak memahami apa yang dituliskan tersebut. Yang dihasilkan dari pesan tersebut justru kebingungan masyarakat.

Seyogianya, penggunaan Bahasa Inggris dalam sosialisasi Pemilu, lebih efektif jika dilakukan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). Karena memang PPLN ini dibentuk KPU untuk menyelenggarakan Pemilu diluar negeri.

Jadi, penggunaan stiker sosialisasi dengan bahasa Inggris “i’m ready to vote” tidak cocok di pedesaan Sumut. Karena hampir dapat dipastikan masih lebih besar masyarakat Sumut yang tidak paham dan mengerti dengan Bahasa Inggris.

Ini menjadi salah satu bentuk kekurangpiawaian KPU provinsi dalam melaksanakan sosialisasi Pemilu/Pilkada. Dus, ini juga menjadi salah satu bentuk ketidakmampuan KPU provinsi dalam menerjemahkan dan menjabarkan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya sesuai dengan UU No 22 tahun 2007 dengan situasi lokal.

Karenanya, tidak berlebihan bila kita patut menaruh curiga, bahwa berbagai persoalan yang muncul selama Pilkada di Sumut disebabkan oleh kekurangmampuan KPU provinsi dalam melakukan sosialisasi Pemilu/Pilkada.

Sebut misalnya terkait dengan banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih, munculnya gugatan salah satu pasangan kandidat dan tingginya angka Golput. Kecurigaan kita ini sangat beralasan bila dilihat dari upaya KPU provinsi dalam melakukan sosialisasi.

Seharusnya, bila KPU provinsi memang memiliki keinginan agar pelaksanaan Pemilu/Pilkada bisa benar-benar dipahami masyarakat, KPU provinsi harus memiliki keberanian. Semisal, membuat berbagai bentuk sosialisasi dengan bahasa daerah.

Sebagai misal, sosialisasi Pemilu/Pilkada di daerah Tanah Karo, sejatinya dilakukan dengan menggunakan Bahasa Karo. Begitu juga di Tapsel dengan menggunakan Bahasa Mandailing, di Toba dengan Bahasa Batak dan di Nias dengan menggunakan Bahasa Nias pula.

Konkritnya, sosialisasi hendaknya dibuat dengan sejelas-jelasnya. Materi sosialisasi harus sesuai dengan kadar kemampuan masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat sebagai pemilih akan benar-benar mengerti tentang pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Pada gilirannya, Pemilu sebagai sarana politik masyarakat akan benar-benar terwujud secara maksimal. Karena partisipasi politik masyarakat dalam pesta demokrasi ini akan tinggi.

Inilah yang menjadi salah satu alasan kuat kenapa program sosialisasi harus dilakukan secara maksimal, terencana dan terukur dan menyesuaikannya dengan kondisi daerah. Bila tidak, apa yang ingin kita sampaikan melalui sosialissi, tidak akan bisa tercapai.


PRIORITAS PROGRAM

Sosialisasi Pemilu yang mengacu kepada perkembangan demokrasi dan iklim politik lokal serta budaya daerah, hanya sebagian dari program yang harus dilakukan dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis.

Dari sekian banyak tugas, wewenang dan tanggungjawab KPU provinsi yang diatur dalam UU No 22 tahun 2007, masih banyak prioritas program lain yang harus dilakukan dengan mengacu pada kondisi daerah.

Sebut misalnya aspek tahapan pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan Pemilu. Ini termasuk tahapan yang cukup rumit dan panjang.

Karena itu, diperlukan persiapan matang dan terencana agar berjalan dengan baik. Hal-hal yang perlu dipersiapkan agar pelaksanaanya berjalan lancar antara lain:

1. Rekrutmen PPK

Dalam rekrutmen Petugas Pemilu Kecamatan (PPK), KPU Provinsi dapat melakukannya lewat empat formula, yakni:
Merekrut mantan PPK yang bekerja pada Pilleg dan Pilpres.
Menerapkan fit and proper test kepada mantan PPK.
Campuran (sebagian anggota PPK lama dipakai dan sebagian lagi dipangkas).
Melakukan fit and proper test kepada semua calon yang masuk.

Formula atau opsi itu sangat ideal. Namun jika akibat krisis waktu, KPU Provinsi Sumut tidak dapat melakukan opsi yang sudah disepakati, maka proses rekrutmen akan diserahkan kepada camat (PPK) dan lurah (PPS).

Tentu KPU provinsi harus memberikan catatan khusus agar dalam proses rekrutmen PPK dan PPS oleh camat dan lurah, dengan tetap memperhatikan peng­alaman dan kemampuan teknis calon.


2. Mengawasi Distribusi Logistik

Lancarnya pelaksanaan Pemilu, erat kaitannya dengan distribusi logistik. Hal ini ditengarai sering sebagai salah satu sumber kerawanan sehingga harus diantisipasi dengan berbagai strategi. Karenanya, mulai saat pencetakan kartu suara, KPU harus membentuk piket jaga dan melibatkan kepolisian.

Setelah logistik selesai dicetak, proses distribusinya pun harus diawasi. Potensi terjadinya sabotese dalam pendistribusian harus tetap dianggap terbuka. Guna meminimalkan potensi ini, KPU harus melakukan antisipasi secara terpadu.

Dengan melakukan kontrol dan memaksimalkan peran jajaran KPU hingga ke pelosok desa, distribusi logistik dipastikan aman. Karenanya, PPS dan KPPS yang telah dilantik dan disumpah untuk mengamankan Pemilu, harus benar-benar bertanggung jawab terhadap tugasnya.


3. Penanganan Kartu Pemilih

Persolan kartu pemilih juga termasuk menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan. Kemungkinan tidak kebagian kartu C6 atau surat panggilan pemilih terbuka, mengingat sebaran wilayah pemilih dan heterogennya penduduk.

Karenanya, pengawasan terhadap masalah ini harus serius. Pemilih yang terdaftar namun belum mendapat kartu pemilih harus lapor ke PPS. Ada kemungkinan kartunya masih tertahan atau belum didistribusikan atau memang tak dibuatkan. Jika ditemukan kasus semacam ini, KPU akan melakukan cek silang termasuk akan menyiapkan formulir C6 sampai H-3 pencoblosan.


4. Penanganan Penghitungan Suara

Dalam kaitan penghitungan suara Pemilu, KPU diupayakan menggunakan tehnologi canggih pada setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Misalnya penggunaan alat hitung suara dalam format digital, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas KPU kepada publik.

Dengan cara ini, diharapkan kecurigaan terjadinya sesuatu dalam proses penghitungan suara tidak terjadi lagi. Tentu, agar dapat berfungsi maksimal diperlukan tenaga SDM yang mumpuni dan independen. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar mampu mengoperasikan komputer lebih dari masyarakat umum. Tenaga untuk penghitungan suara dengan tehnologi canggih ini harus terlatih.

Terkait penetapan hasil-hasil Pemilu, akan diupayakan secara transparan, cepat, akurat dan adil. Karenanya, KPU harus melibatkan semua pihak dalam penetapan hasil Pemilu.

KPU sebisa mungkin akan mengundang partai politik peserta Pemilu , untuk mengikuti rapat pleno terbuka yang membahas rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu untuk setiap daerah pemilihan.

KPU juga akan mengundang saksi dari parpol, Panwas, pemantau, serta tokoh masyarakat untuk menyaksikan penyelenggaraan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang dimaksudkan UU Nomor 10 tahun 2008.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (2) UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, disebutkan; “KPU Provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam rapat yang dihadiri saksi peserta Pemilu”.

Pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD dan DPRD dilakukan di tempat dan keadaan, yang memungkinkan semua menyaksikan pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara.

Apabila ada parpol yang tidak menerima hasil rekapitulasi penghitungan suara yang telah dilakukan, mereka dapat mengajukan keberatan sebagaimana diatur undang-undang.

Bila semua ini dapat diwujudkan, kita optimis pelaksanaan Pemilu/Pilkada di Sumut akan berlangsung dengan sukses dalam koridor damai, berkeadilan dan bermartabat. Semoga!