Berniat Pulang Kampung
REFORMASI kata orang, membawa perubahan luar biasa bagi negeri ini. Berkat reformasi, Barongsai dapat dipentaskan. Berkat reformasi, anak PKI bisa menjadi PNS.Berkat reformasi penambal ban bisa menjadi wartawan.
Reformasi yang dilanjutkan penerapan otonomi daerah, membuat sejumlah daerah maju pesat. Jumlah kepala daerah bertambah, jumlah kantor Bupati juga bertambah. Bahkan, seorang agen togel yang bekas preman, kini menjadi Bupati di satu daerah. Ini kemajuan luar biasa, yang tidak mungkin terjadi dimasa orde baru. Ini perubahan luar biasa, yang dahulu hanya boleh dimimpikan dan disaksikan dalam cerita dongeng.
Tapi reformasi dan otonomi daerah tidak menyentuh desa kelahiranku. Jalan ke desa itu tetap berliku, setapak dan mengandalkan otot, harus berjalan kaki setelah hari. Perubahan yang nampak hanya pada hutan yang makin gundul, karena dibabat pembalak liar untuk kepentingan pribadi.
Desa kelahiranku bernama Hopong, diambil dari nama pohon berbuah asam yang tumbuh dibelakang rumahku. Hopong tumbuhan langka yang tidak tahu apa gunanya, kecuali sebagai peluru ketapel saat aku masih kecil. Buahnya lebat berwarna putih sebesar telor angsa,menutupi pohon dari tanah hingga ke dahan.
Desa Hopong terletak di kaki bukit barisan, dikelilingi hutan belantara. Menuju desa itu, harus melewati perbukitan, naik turun menyeberangi sungai Aek Sipabang. Dahulu masuk kawasan Kecamatan Pahae Jae, tapi kini masuk Kecamatan Simangumban. Ini setelah Pahae Jae dimekarkan menjadi tiga yakni Kecamatan Pahae Jae, Kecamatan Purbatua dan Kecamatan Simangumban.
Walau berubah menjadi Kecamatan Simangumban, desa Hopong tetap terpencil. Dua Sekolah Dasar yang ada di desa itu tetap tidak memiliki tenaga guru, karena mereka enggan tinggal disana. Maka anak-anak desa, hanya belajar dari guru honor yang putra daerah, tamatan SLTA.
Sedangkan Madrasah Diniyah, tempat anak-anak belajar baca Alquran dan belajar sholat, kini sudah tutup. Setelah ayahku meninggal, lima tahun silam, sekolah itu telah kosong dan tutup.
“Sekolah itu telah tutup,gurunya tak ada. Sejak ayahmu meninggal, gedung madrasah itu berubah menjadi kandang kuda”, kata mamakku yang kemarin datang ke Medan menengok cucunya.
Madrasah Diniyah yang semula dibangun ayahku dengan dinding tepas beratap ilalang, sempat dibangun pemerintah. Gedungnya sudah berlantai semen, berdinding papan dan beratap seng. Lokalnya sudah menjadi tiga. Sudah megah dan mewah dalam ukuran kampung-kampung.
Dahulu,ketika ayahku masih hidup, sekolah ini menjadi tempat anak-anak desa belajar mengaji,belajar sholat dan belajar ilmu bela diri. Tapi, ayahku yang PNS Depag itu meninggal sebelum pension, sehingga sekolah itu harus tutup. Tidak ada yang menggantikannya, karena tidak ada anak desa yang mengecap pendidikan walau hanya setingkat SLTA.
Kami sekeluarga,anak ayahku yang jumlahnya sembilan (9) orang, memang sebagian besar jadi sarjana dan minimal tamat SLTA. Tapi semuanya merantau, termasuk saya sendiri. Otomatis, yang tinggal di desa itu, hanya mereka yang tidak sekolah.
Kemiskinan dan keterisoliran desaku membuat kehidupan warga tetap terbelakang. Akses mereka meraih kemajuan terhambat. Mendengar suara mobil saja, hanya sekali setahun yakni saat membeli baju baru ke pekan Simangumban menjelang idul fitri. Hasil pertanian dari desaku dibawa ke pasar Simangumban dengan cara dipukul, atau paling canggih dengan menggunakan kuda beban.
Aku sudah lima tahun tidak pulang, karena tidak mampu membawa istri dan anakku sampai ke desa. Karena jika pulang ke sana, harus berjalan kaki setengah hari penuh, turun naik perbukitan dengan medan jalan yang sulit. Saya khawatir, anakku tak sanggub jalan, dan istriku pasti mengomel kelelahan.
Saya biasa menjalani jalan yang terjal berliku, tapi saya dan anak tentu berbeda. Mereka tidak tahu bagaimana sulitnya jalan ke kampung kelahiran ayahnya. Tapi aku bertekad, jika anak-anakku sudah besar, ototnya sudah kuat, kami akan pulang kampung. Kami akan jiarah ke pusara ompungnya dan bertemu sanak pamili.
Saya berdoa ada perubahan di daerah asalku. Tapi sepertinya belum terujud, karena kondisi pemerintahan yang belum stabil dan tidak adanya perhatian penguasa menembus isolasi desa itu.
Saya pernah berfikir akan membentuk Kabupaten Pahae, terpisah dari Tapanuli Utara. Tujuannya agar saya dan anakku bisa pulang kampung setiap saat. Tapi kapankah itu terujud ?.