fashion pria

MENKO-MENKO ITU

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Di tengah mendesaknya reformasi birokrasi untuk memaksimalkan pelayanan Negara terhadap rakyat, dan di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, eksistensi Menko tak ubahnya sebuah quasi urgensi. Masih banyak urgensi lain ketimbang pengistimewaan orang-orang tertentu dalam jabatan itu sambil memboroskan uang rakyat.

Anak saya, si bungsu, yang duduk di kelas VI SD beberapa terakhir makin banyak bertanya tentang masalah politik dan kenegaraan. Mungkin karena remote tv satu-satunya di rumah kami lebih banyak bergerak (berpindah) mengejar dan stay tune pada channel yang menyajikan informasi politik. Keleluasaan si bungsu menikmati acara-acara tv kesukaannya drastis berkurang. Sajian 3 koran lokal setiap hari dan 2 majalah mingguan nasional yang hadir di rumah kami tentu juga ikut menambah “tekanan” khusus baginya hingga semakin terlibat dalam wacana dan pewacanaan politik dan kenegaraan, justru saat perhelatan nasional (pemilu 2009).

“Ayah tahu Menteri Koordinator? Dia itu abang kah atau kaka dari para Menteri dan adik Presiden? Apa kerjanya? Saya lihat seperti disuruh-suruh Presiden untuk bicara-bicara dengan para Menteri. Gajinya pasti beda dikit dari gaji Presiden, dibanding dengan gaji para Menteri mungkin lebih besar ya”.

Bahasa si bungsu sederhana, ekspresinya pun biasa-biasa. Tetapi saya merasa jika pertanyaan itu diseminarkan dengan menghadirkan ahli Tata Negara atau Administrtasi Negara sekaliber almarhum Ismail Sunny dari UI dan Miftah Thoha dari UGM, tentu kupasannya panjang (Mungkin juga pakar Hukum Adnan Buyung Nasution perlu dilibatkan, meskipun ia ikut dalam jabatan Dewan Penasehat Presiden yang menurut saya jabatan itu tak diperlukan oleh Negara).

Saya tak menjelaskan kepada si bungsu apa reaksi pemikiran saya atas pertanyaannya. Bahwa pada saat menanti detik-detik pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu tempohari saya pernah menjelaskan pandangan kepada beberapa aktivis yang berkumpul di kampus tentang Menko yang kurang lebih pemborosan belaka di Negara yang kesejahteraannya amat menyedihkan. Itu pandangan saya. Selain aspek pemborosan, saya juga menengarai keberadaan Menko itu dapat mengkondisikan Presiden tak usah bekerja, baik karena malas, karena mengidap penyakit feodal atau karena tak cakap. Menko itu tentu political pointy yang amat prerogative, tetapi tak ubahnya pemberian penghargaan istimewa kepada orang tertentu untuk bertengger di suatu puncak terbatas kekuasaan elit Negara.

Seingat saya Pak Harto memulai “tradisi” bermenko ini. Presiden dan Wakil Presiden RI yang sekarang adalah mantan Menko (Polkam dan Kesra) saat Megawati menjadi Presiden yang akhirnya menyerahkan estafet kekuasaan tertinggi eksekutif itu kepada kedua mantan Menko-nya itu melalui suksesi (ha ha ha, tak apalah tertawa karena memang saya merasa sedikit lucu. Dua “anak buah” bersama-sama menantang dan menang. Ini masih jauh beda dengan kasus M Jusuf Kalla yang mendeklarasikan diri sebagai calon Presiden meski jabatannya sebagai Wakil Presiden di sisi Susilo Bambang Yudhoyono belum usai).

Malas, Feodal atau Tak Cakap?

Bagi saya sedikitnya ada 4 alasan mengapa Menko itu dibuat. Pertama, kemalasan seorang Presiden. Kedua, kentalnya feodalisme yang merasuk ke dalam perilaku kenegaraan. Ketiga, ketidak-cakapan seorang Presiden yang harus ditutupi dengan penonjolan central figure lain yang “menyambungkan” Presiden dengan Menteri sehingga rakyat tidak korban atau menderita kevakuman pelayanan pemerintahan. Keempat, pemenuhan keterwakilan dalam mekanisme power sharing.

Jika karena alasan malas Menko menggantikan tangan Presiden untuk segala macam pekerjaan agar tetap bersih dan keringatnya tidak perlu keluar, maka perlu diajukan satu pertanyaan besar “perlukah, atau inikah keinginan konstitusi? Tentu saja konstitusi, etika pemerintahan dan etika politik mengharamkan perilaku malas mengurus Negara, bukan? Bagaimana jika feodal?

Mana lebih penting feodalisme atau egalitarianisme dalam sebuah Negara dan pemerintahan? Jika karena alasan feodal Presiden itu harus seperti tak perlu menangani apa pun karena prinsip delegation of authority (hingga melekat karakter jabatan kepresidenan sebagai pengemban citra the king can do no wrong), maka interpretasi (autentik atau pragmatis) dari konstitusi pun harus ditemukan. Atau jika karena alasan tak cakap, maka ……ah tak perlu lagi ada pertanyaan kecuali “mengapa ya Tuhan, segawat ini nasib negeri hingga diurus oleh orang yang tak cakap?” Bagaimana jika rekrutmen Menko untuk pemenuhan perasaan keterwakilan kekuatan politik? Silakan, ya silakan daripada terjungkir di tengah jalan. Namun resikonya kelestarian kekuasaan telah menelan urgensi substantif jika Menko hampa daya dalam pemborosan.

Organisasi pemerintahan dan pembengkakan aparatur Negara menyangkut alokasi anggaran. Kantor dan peralatannya, anggaran aparatur dan “kewibawaannya” yang biasa dijaga dengan cara yang bukan kinerja seperti pilihan merk dan frekuensi pengadaan mobil dinas, fasilitas dan lain sebagainya (dari dulu saya selalu berpikir KPK itu lembaga pemborosan sarat muatan politik seperti Kopkamtib pada zaman Orde Baru dulu.

Soal Kejaksaan dan atau Kepolisian yang secara eksistensial dinyatakan mandul oleh fenomena pembentukan KPK. kan mestinya tidak boleh ada pembiaran Negara semacam itu. Saya amat yakin lembaga apa pun dibentuk dalam pemerintahan yang tidak dipimpin oleh figur yang benar-benar komit tak akan berarti, apalagi jika hanya akan dipergilirkan di antara orang yang diragukan komitmennya. Jika Kejaksaan dan Kepolisian tidak bisa dibenahi, terlalu jauh berangan-angan membentuk apapun termasuk misalnya sebuah pasukan perang anti korupsi).

Di benak saya selalu muncul pertanyaan tentang ketiadaan ketauladan paling tidak jika misalnya dibandingkan dengan kehidupan sederhana bapak bangsa Bung Hatta yang konon setelah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI hidupnya susah hingga kesulitan membayar rekening listrik, telefon dan rekening air setiap bulan.

Rekan saya Idham dari Fraksi PDIP DPR-RI ---dalam sebuah perbincangan mengisi perjalanan dari Medan ke Asahan beberapa bulan lalu--- meyakini Negara telah melakukan kesalahan berupa perilaku canggung dalam alokasi anggaran Negara antara untuk aparatur atau untuk rakyat. Saya menyimpulkan fikirannya dengan berucap “APBN dan APBD itu seakan strategi keuangan dan pembelanjaan Negara untuk memelihara status istimewa para birokrat”.

Saya memang tidak mengenal dan tidak tahu banyak tentang mantan-mantan menteri di Indonesia . Apakah mereka kaya sebelum atau sesudah menjadi menteri? Bagaimana mereka bisa menjadi kaya? Tetapi dengan mengikuti “endusan hukum” yang pernah mencuat dalam pemberitaan media (dan akhirnya sirna begitu saja) saya menjadi sangat ragu. Ragu tentang komitmen mereka terhadap rakyat.

Keraguan tentang komitmen mereka terhadap rakyat tentu juga sekaligus menjadi keraguan amat beralasan tentang perhatian Presiden terhadap rakyat. Presiden, pemerintahan dan Negara, jika harus diragukan perhatiannya terhadap rakyat, maka apakah yang selalu membuat rakyat ikut dan manut-manut kepada pemerintah?

Jika merasa belum terlambat maka sebaiknya digagaslah bagaimana membentuk pemerintahan yang peduli terhadap rakyat. Bagaimana menurut Anda? ***