fashion pria



TAHUN INI KAMI TAK MUDIK (JUGA)

Catatan : Mayjen Simanungkalit

Ramadhan hampir berakhir. Sesaat lagi tiba hari raya idul Fitri. Kawan-kawan di Medan, terutama tetangga yang juga perantau sudah mulai sibuk. Mereka mulai membungkusi pakaian dan oleh-oleh yang akan dibawa saat mudik ke kampung halaman.

Stasiun angkutan luar kota di jalan Sisingamangaraja Medan, sejak kemarin juga sudah sibuk. Bus CV Bintang Utara, PT ALS, CV Sibualbuali dan CV Sipirok Nauli yang membuka rute ke Pahae Jae Tapanuli Utara, sudah penuh order tiket. Bahkan pesanan tiket untuk H-3 Idul Fitri dinyatakan sudah terjual habis.

Idul Fitri memang masih menjadi hari raya paling sakral bagi ummat muslim di Tapanuli Utara, juga mungkin di tepat lain. Di hari raya ini, semua kerabat kumpul di kampung halaman. Anak bertemu orang tua, adik bertemu abang, menantu bertemu mertua. Semua sanak keluarga kumpul dalam kegembiraan.

Tapi tahun ini, seperti juga tahun-tahun kemarin, kami tidak mudik. Bukan tidak rindu kampung halaman. Bukan pula tidak ingin mandi dipancuran dan menangkap ikan mas di kolam sawah dekat sungai.

Sama seperti orang lain. Saya pun ingin kumpul dengan sanak keluarga. Ingin bernostalgia bersama kawan sepermainan masa kecil. Ingin melihat kembali kolam ikan dekat sungai, tempat aku mandi waktu kecil. Sholat bersama warga kampung di masjid kecil dekat pancuran diujung desa. Tertidur pulas di masjid, menunggu datangnya berbuka dengan iringan beduk yang ditabuh anak-anak kampung.

Masa kecil dikampungku, Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara, jelas masih membekas dibenakku. Walau desa ini sudah kutinggalkan 27 tahun silam, namun hampir semua mimpiku masih terjadi disini.

Desa terpencil yang hanya bisa ditempuh dengan perjalanan kaki selama satu hari penuh dari jalan beraspal di Simangumban, itu belum banyak berubah. Jalan masih hancur-hancuran. Sarana transfortasi masih kacau-balau. Bahkan saat semua daerah di tanah air sudah terjangkau telekomunikasi selular, kampungku masih blong. Disana belum bisa pakai HP. Maka mamakku, sampai sekarang belum bisa telepon cucunya di Medan, Jakarta, Pekanbaru, bahkan ke Padangsidimpuan.

Dusun Hopong tempatku lahir pada 18 Pebruari 1968. Ayahku menjadi guru agama di desa itu, demi syiar Islam dan pengabdian kepada Negara. Tapi karena pengabdiannya yang tulus itu, kami hidup terpencil, terbelakang dan dibalut kemiskinan.

Atas dasar setia kepada Negara, tulus menjadi guru agama di daerah terpencil, ayahku mempertaruhkan masa depan anak-anaknya. Kami hidup dalam keterbatasan, karena desa kami terisolir dan terpencil alias terbelakang. Walau berprofesi sebagai guru agama PNS, ayahku lebih dikenal sebagai petani “Joring” alias jengkol. Maklum penghasilan sebagai PNS tak seberapa, sehingga ayahku menjadi petani jengkol. Itu pula sebabnya ketika aku tinggal di kota Medan, kawan-kawan sering memanggilku sebagai Anak Petani Joring Dari Pahae.

Masa kecilku jauh dari kehidupan kota. Aku baru mendengar deru mesin mobil dan klakson speda motor setelah berusia 12 tahun. Itupun karena diajak ke pekan Simangumban, membeli baju baru untuk lebaran.

Dikampung, dimasa itu, usia 12 tahun memang menjadi usia paling enak. Karena dalam usia itu, seorang anak sudah dibawa ke pekan, dianggap sudah tahan jalan kaki berjam-jam tanpa henti. Dalam usia itulah aku pertama kali mengenal pasar, penjual es, penjual martabak, penjual baju, yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan dalam pikiran.

Untungnya, ayahku berwawasan masa depan. Kami semua disekolahkan ke kota. Usia 13 tahun, kami harus keluar dari kampung, sekolah dirantau orang. “Ikkon Sikkola do Asa Boi Pistar”, kata ayahku suatu saat.

Kerasnya hidup di desa dan kejamnya ibukota, membuat kami sekeluarga yang berjumlah 9 orang tahan banting. Saya bersyukur, biasa hidup susah dan sering gagal, sehingga saat menjadi orang dewasa dan orang tua, saya tak canggung menghadapi tantangan. Sampai sekarang saya selalu menyadari : Tidak semua yang kita inginkan harus tercapai.

Karena biasa susah dan sering gagal, sampai kini saya termasuk orang tahan banting. Saya tak pernah resah saat gagal menggapai harapan, sebab memang sudah biasa gagal. Saya juga tak gentar menghadapi beratnya kehidupan, karena terbiasa hidup susah.

Tapi susah tidak harus dipertahankan. Susah itu bukan warisan yang harus dilestarikan. Harus ada perubahan. Anak-anak sekarang bukan seperti kita dahoeloe. Mereka terlalu ringkih, ganteng dan cantik untuk hidup susah. Biarlah kita susah, tapi anak kita dan cucu kita jangan susah lagi. Saya jamin, meraka tidak tahan.

Tahun ini kami tidak mudik. Bukan karena tidak ada ongkos pulang. Tapi semata demi alasan klasik. Kampungku masih terpencil, terbelakang. Tak ada angkutan kesana,kecuali jalan kaki satu hari penuh tanpa henti.

Anakku masih kecil-kecil, belum bisa jalan kaki seharian tanpa henti. Tapi, suatu saat, ketika anak-anakku sudah besar atau kampung sudah bisa dilalui kenderaan, kami pasti mudik. ***