Mayjen Simanungkalit
Anak Petani Jengkol dari Pahae
Terlahir dari keluarga petani Jengkol di pedalaman Kabupaten Tapanuli Utara- Sumatera Utara. Lahir saat hujan gerimis bersamaan menggemanya azan shubuh dari masjid reot disamping rumah.
Dengan bermodal sehelai kain panjang dan beralas tikar pandan lusuh, nenekku bernama Oppu Ida membantu persalinan inang. Warga kampung tidak banyak yang bisa dimintai tolong, karena saat itu hampir semua menginap di ladang, menjaga padi yang lagi menguning di sawah yang saat itu sering diganggu gerombolan babi hutan.
Ayahku pusing dan panik, dengan memakai obor dari botol kecil hanya terpikir menjemput nenekku. Dalam subuh yang gelap dan gerimis itu, aku lahir. Tidak ada popok membalut badan, kecuali kain lusuh yang sering digunakan ayahku untuk sholat. Kain itulah yang dibalutkan kebadanku, lalu dihangatkan dekat tungku yang selalu mengeluarkan asap kayu bakar.
“Kau lahir disaat yang sangat sulit. Penduduk di desa saat itu sedang paceklik.Kita sangat miskin dan hidup didesa sangat terpencil”, kata ayahku suatu ketika.
Namaku Mayjen Simanungkalit, tapi tidak pernah kutahu mengapa nama itu diberikan ayahku. Tidak pernah ada konfirmasi yang lengkap setiap kali aku bertanya soal itu kepada ayahku. Tidak juga ibuku, Boru Siagian yang sangat penyayang. Ibuku hanya seyum simpul setiap kali kutanya soal namaku.
“Pokoknya kau Jendral, tidak perlu kau tahu mengapa begitu. Ayahmu mungkin ingin agar namamu mudah dikenal”, kata ibuku suatu saat.
Tapi tidak pula ku ngotot mempersoalkan itu, toh tidak banyak gunanya. Apalagi menghubungkannya dengan posisi ayahku yang hanya Guru Agama Islam di SD Kampungku dan lebih dikenal sebagai petani Jengkol.
“Biarlah anak petani Jengkol asal tetap Jendral”, pikirku juga. Maklum orang kampong.
Dari papan yang disangkutkan didinding rumahku, aku tahu dilahirkan pada 18 Desember 1968. Aku anak ke empat dari 9 bersaudara, delapan laki-laki dan satu perempuan. Tempat kelahiranku adalah dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul,Kecamatan Pahae Jae,Tapanuli Utara,Sumatera Utara,Indonesia.
Dalam peta yang pernah kubaca dibangku Sekolah Dasar, nama kampungku tidak ditemukan. Maklum, terpencil, terisolir dan terbelakang. Jaraknya 24 kilometer dari jalan raya, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki sehari penuh.
Aku hanya sampai kelas
Dari MIN,MTsN sampai PGAN aku jalani di desa Peanornor itu.Disinilah , tempatku besar dan belajar memahami kehidupan. Sekolah menyediakan asrama di puncak perbukitan itu, membuat aku takkan pernah lupa dengan Peanornor.Tujuh tahun aku di desa itu, dengan suka duka yang cukup sulit dilupakan.
Setelah dari Peanornor aku merantau ke