Medan (Lapan Anam)
Kondisi Danau Toba di Pulau Samosir yang menjadi salah satu ikon Sumatera Utara kian terancam. Selain ancaman limbah, sekitar 80 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Toba juga saat ini berada dalam kondisi kritis.
Demikian diungkapkan Kasatker Balai Wilayah Sungai Sumatera II, Pardomuan Sitompul, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Sumut, Selasa (9/6), yang dipimpin Ketua Komisi D, Sobam Bowo Bu’Ulolo.
Rapat juga dihadiri sejumlah anggota diantaranya Sudjarwono, Zulkarnain ST, Irma Julita Ginting, HM Marzuki, Elbiner Silitonga dan Analisman Zaluckhu.
Dikatakan Sitompul, sebagai danau yang terbesar di Indonesia terdapat 145 buah sungai yang masuk ke Danau Toba. Sedangkan yang keluar dari Danau Toba hanya Sungai Asahan.
Menurut perkiraan debit air yang masuk ke Danau Toba pada kondisi normal sebanyak 215,70 m3/s, debit air pada kondisi banjir 515,05 m3/s. Perhitungan tersebut menurutnya belum termasuk debit akibat direct rain fall dan dengan asumsi bahwa kondisi DAS Danau Toba adalah baik, dengan luas 364.854 Ha, yang terdiri dari Perairan Danau Toba 110.260 Ha dan daratan 254.594 Ha.
”Namun kenyataannya berdasarkan kondisi sungai yang ada di atas diperkirakan 80 persen adalah kritis dan diperkirakan debit yang masuk sekitar 70-80 persen m3 per detik,” katanya.
Menurut Pardomuan Sitompul, kondisi DAS Danau Toba yang kritis ini telah menjadi perhatian dan mereka juga tengah berupaya melakukan upaya penyelamatan dan konservasi termasuk terhadap kualitas air akibat keberadaan kerambah ikan.
Dia menilai kondisi DAS yang kritis ini akibat gundulnya daerah di sekitar aliran sungai sehingga sungai tidak lagi memiliki pertahanan.
Menanggapi kritisnya aliran DAS Danau Toba ini, Anggota Komisi D Analisman Zaluckhu mendesak agar segera dilakukan upaya pencegahan dan penanganan. ”Sebab Danau Toba merupakan aset dan ikon Sumatera Utara yang perlu kita jaga kelestariannya,” kata Analisman.
Politisi PDI Perjuangan ini juga menyoroti penanganan irigasi di daerah-daerah dimana pembagian kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten.
Menurut Analisman, areal sawah dengan luas mencapai 1000 Ha menjadi kewenangan kabupaten/kota, sehingga bisa dikatakan wewenang kabupaten/kota menjadi paling luas. ”Ada nggak solusi yang bisa ditawarkan,” kata Analisman.
Menurut Pardomuan Sitompul, berdasar Undang-Undang No 7 tahun 2004 tidaklah kaku. Meski dinyatakan kewenangan pemerintah pusat hanya mengelola 12 DI namun masih ada kewenangan pemerintah pusat untuk menangani irigasi provinsi dan kabupaten/kota dengan mengajukan surat permohonan.
Dia mencontohkan irigasi di Nambo Rambe dengan luas 900 ha, yang membutuhkan dana Rp25 miliar. “Namun karena ketiadaan dana ini ditangani oleh pemerintah pusat dan kini sudah berfungsi,” ujarnya.***