fashion pria



Menyoal Lapangan Merdeka

Oleh Mayjen Simanungkalit

Merdeka Bung ! Sekali Merdeka Tetap Merdeka ! Demikian pekik merdeka yang selalu diucapkan anak negeri ini, setelah Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia membacakan dan menandatangani Proklami Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Pekik merdeka yang seharusnya terus menggema pada 63 tahun usia kemerdekaan RI, nyata redup nyaris tak berbekas. Pekikan itu kini hanya muncul dalam spanduk diberbagai sudut jalan, dengan bahasa yang campur aduk. Kemerdekaan telah berubah menjadi pembenaran untuk merdeka semerdekanya.

Orang merasa merdeka untuk korupsi, merdeka untuk menjambret dan merdeka untuk menghianati kemerdekaan hakiki.Khususnya di kota Medan, Sumatera Utara, pekik merdeka itu malah sudah menyalah.
Parahnya lagi, lapangan merdeka di Jalan Pulau Pinang kota Medan, yang menjadi lambang kemerdekaan RI di Sumatera sudah berubah fungsi.Parahnya lagi, lapangan yang dahoeloe menjadi saksi bisu diperdengarkannya kemerdekaan itu kepada rakyat, malah menjadi lapangan mereka yang dahoeloe tidak mau tahu soal arti perjuangan kemerdekaan.
Lapangan merdeka menjadi lapangan mereka.Kini mereka-mereka yang daoeloe tidak ikut berjuang memerdekakan negeri ini, malah menikmati pasilitas lapangan merdeka. Kelompok kapitalis itu, dengan kekuatan uangnya berani dan bisa menyulap lapangan merdeka menjadi pusat bisnis jajanan malam.
Apa konstribusi kapitalis itu mengisi kemerdekaan ? Tidak pula jelas. Malah mereka hanya menambah macetnya kota medan diwaktu sore sampai subuh. Dengan berbagai jajanan malam, kelompok kapitalis itu, meraup keuntungan besar dari kawasan lapangan merdeka.
Dewan harian Angkatan 45 Sumut mengaku sudah enam kali menyurati pemko Medan, agar mengembalikan lapangan merdeka kepada fungsinya semula, yakni milik publik dan asset sejarah. Namun kapitalis tetap saja kukuh menguasai lapangan merdeka, tanpa peduli makna sebuah kemerdekaan.
Bangsa ini akan kacau balau jika makna kemerdekaan sudah tidak dipahami. Jika nasionalisme sudah terkubur. Jika keserakahan sudah lebih menonjkol. Jika kepedulian sudah tak ada. Jika telinga sudah tuli.
Merdeka bung ! Kembalikan negeri ini kepada anak negeri. Nenek dan kakek kami dahoeloe bermandi darah ditembak penjajah, demi kemerdekaan negeri ini. Maka tidak akan kami ikhlaskan lapangan merdeka dikuasai mereka.
Faktanya, kini lapangan merdeka sudah jadi lapangan mereka, hanya karena mereka punya segalanya. Namun kami yakin, bangsa ini masih paham arti kemerdekaan. Sebab bangsa kami bukan bangsa BODAT.
Suatu saat lapangan meredeka akan kami rebut kembali, seperti dahoeloe kakek kami merebut negeri ini dari penjajah.***