fashion pria


Dari Diskusi Kesra Centre di Medan
Korupsi Bahaya “Laten” Bangsa

Medan (Lapan Anam)

Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan dan Penguatan Publik (LAMPIK),Mayjen Simanungkalit menilai, upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyediakan baju khusus koruptor tidak efektif bagi pemberantasan korupsi.

“Kalau mau serius memberantas korupsi, pemerintah harus menyatakan tindak korupsi sebagai bahaya laten”, katanya dalam diskusi digelar Kesra Centre di Hotel Dharma Deli Medan, Sabtu (9/8).

Aktivis LSM juga alumni IAIN Medan ini mengaskan, pemberantasan korupsi harus sampai keakar-akarnya. Karena korupsi sudah menjadi musuh bangsa dan negara, harus ada keseriusan negara untuk melenyapkannya dari sendi-sendi kehidupan bangsa.

Semua anak bangsa kata dia, harus disterilkan dari penyakit koruptif dengan memperbaiki administrasi keuangan negara serta membentuk mental anti korupsi ditengah-tengah masyarakat. Tentu sistem pemerintahan, menjadi prioritas utama untuk di seterilkan dari praktek korupsi.

Mayjen Simanungkalit menyrankan agar larangan melakukan praktek korupsi dipermanenkan lewat Ketetapan MPR RI dan Kepres. Dilanjutkan dengan litsus (penelitian khusus) bagi semua elemendan lapisan masyarakat, sebagai jaminan yang bersangkutan tidak terkontaminasi bahaya laten korupsi.

Kendati agak sulit diterapkan, namun Mayjen Simanungkalit yakin dampaknya di masa depan akan sangat positif. Misalnya, jika seseorang melamar jadi PNS, TNI/Polri harus ada surat keterangan dari KPK yang menjelaskan, bahwa yang bersangkutan bukan keluarga koruptor.

“Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Tap MPRS No XXV/1966 untuk melindungi bangga Indonesia dari ajaran komunis yang terbukti berbahaya dan menyengsarakan rakyat. Pemerintah juga pernah mengeluarkan Keppres No 16 tahun 1990 tentang Litsus. Lalu mengapa tidak kita lakukan untuk larangan praktek korupsi ?”, katanya mempertanyakan.

Jika sanksi sosial koruptor hanya lewat penyediaan baju khusus selama di tahanan, menurut dia, itu tidak ada pentingnya bagi para tersangka. Apalagi kenyataan dilapangan, perlakuan aparat hukum terhadap tersangka korupsi masih sangat istimewa.

HUKUM BERAT

Sementara Sekretaris Kesra Centra, Yoko Susilo Chou berpendapat, bahwa yang terpenting dilakukan saat ini adalah hukuman untuk para koruptor, harus setimpal dengan perbuatannya. Bahkan aparat hokum jangan pula berlindung dibalik hukum itu sendiri untuk meringankan hukuman bagi para koruptor yang terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi.

Tidak mesti harus pakai baju begini-begitu, yang penting koruptor dihukum seberat-beratnya agar menimbulkan effek jera. Bahkan akan menjadi trauma pula bagi yang lain untuk melakukan korupsi. Bahkan bagi para eli politik tidak pula latah untuk ikut nimbrung mempermasalahkan soal kontroversi soal baju. Tetapi sebaiknya dapat berperan menekan lembaga peradilan untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya.

Yoko juga mengharapkan kepada KPK untuk tidak memberikan jaminan penangguhan penahanan bagi para koruptor, saat sedang diperiksa maupun saat dipersidangan. Sehingga, idiom tebang pilih antara maling ayam dan koruptor tidak menjadi “banyolan” ditengah masyarakat.

Sedangkan Direktur Lembaga Suryey Orbit (LSO) Sumut, Abyadi Siregar mengatakan, prilaku korupsi bukan ”budaya” melainkan penyakit struktural. Artinya, korupsi dilakukan bukan karena pejabat itu miskin atau tak punya, melainkan karena struktur adminisrasi dan organisasi pemerintahan kita memungkinkan tindak korupsi itu terjadi.

Dia juga mengatakan, boleh-boleh saja baju khusus koruptor digunakan. Namun lebih efektif lagi, jika para mantan narapidana kasus korupsi diberi tanda khusus sebagai pertanda yang bersangkutan eks koruptor. “Begitu pun, Vonis pidana yang berat justru lebih bermanfaat”, kata politisi PAN Medan itu. (ms)